Sabtu, 26 Juli 2008

Menunggu Kesadaran Imajinasi


Menunggu Kesadaran Imajinasi


Novel Menunggu Matahari di Melbourne adalah novel karya Remy Sylado yang berbeda dengan novel-novelnya yang sebelumnya. Jika sebelumnya dalam Kembang Jepun, Parisjs van Java, Kerudung Merah Kirmizi dan Ca Bau Kan adalah novel yang digarap dengan penuh ‘kedewasaan’ seorang pengarang, serta kuat muatan sosial dan kesejarahannya. Maka novel ini terkesan ‘anak muda’ yang ‘seenaknya saja’.

Karya-karya Remy Sylado adalah karya yang sarat makna, model penceritaan yang luar biasa dan alur cerita yang fantastik membuat saya selalu tertarik untuk mendapatkannya.

Dari covernya (yang ketika saya mengambil buku ini ‘belum bisa percaya’ bahwa ini adalah karya Remy Sylado) dapat kita lihat seperti model-model cover cerita remaja, chicklit atau cerita-cerita ‘ringan’ lainnya. Pada penulisan judul seperti tidak ada konsistensi penulisan (dari gaya hurufnya). Kemudian ada latar kota besar dengan gedung yang menjulang. Dan dua anak manusia yang berpunggungan. Yang lelaki berkulit keling, gondrong, wajah ‘khas Indonesia, bertindik dibawah bibir berkaus oblong hijau dan berjeans. Kemudian yang perempuan berambut pirang, kulit lebih cerah, berkaus you can see yang menutup sebagian perutnya sehingga terlihatlah tindik di bawah pusarnya. Kesan yang ‘main-main’ untuk novel karya Remy Sylado yang sudah terframe ‘serius dan filosofis’ dalam pikiran saya.

Ternyata pikiran saya tidak salah, novel ini memang serius dalam mengangkat permasalahan sosial, politik, moral, ekonomi, pertahanan, bahasa apalagi kebudayaan. Dan sangat filosofis dalam menganalogikan suatu permasalahan dengan simbol-simbol yang tepat. Walaupun diangkat dengan menggunakan bahasa yang ‘terserah saya’. Padu-padan kata yang enak jika diucapkan

Mary Jane Storm orang Australia

Joko Trianto orang Indonesia

Untuk alasan yang barangkali emosional, pekan lalu Mary Jane Storm ke Denpasar.

Untuk alasan yang barangkali rasional, hari ini Joko trianto ke Melbourne(hal 3)

Setelah semakin jauh membaca, ternyata tokoh di cover tadi teridentifikasi sebagai tokoh utama, yaitu Mary Jane Storm dan Joko Trianto. Dengan ciri fisik dan penampilan yang sama. Ciri fisik dan penampilan kedua tokoh ini juga merupakan representasi dari ‘budaya anak muda sekarang’ yang bebas, santai dan terkesan ‘mbarat’. Fenomena pergeseran, atau pengaruh kebudayaan ini sempat menjadi perbincangan menarik. Atau mungkin dengan atribut tokohnya tersebut adalah suatu simbol identifikasi ‘kaum’ tertentu dengan ‘orientasi’ tertentu.


Apa boleh buat, berpakaian dalam tatanan global saat ini memang bisa menjadi rangsangan kenyataan akan keikutsertaan seseorang terhadap tren mode yang ditawarkan pasar, artinya bagian dari politik dagang, tapi bisa juga merupakan ekspresi sosial menyangkut kebebasan jiwa orang itu secara pribadi diantara orang banyak.

Jadi, kayaknya tidak usah terganggu melihat mode orang-orang muda. Setiap zaman ada saja mode orang-orang muda yang neko-neko dan menyepatkan mata orang –orang tua. Tapi, orang-orang yang kini tuapun dulu pernah muda juga dan menjengkelkan mami-papinya. (hal 7)


Sekilas novel ini seperti kisah cinta biasa, cerita picisan yang mengangkat kisah tentang perkenalan anak muda di bandara yang berlanjut dengan cerita asmara yang berakhir dengan bahagia. Tetapi dibalik ‘kesederhanaan’ jalan ceritanya, novel ini sarat kritik sosial tentang kemunafikan para pelaku kehidupan, korupsi dari berbagai bidang sampai korupsi waktu, gaya hidup kota besar dan kebebasan pergaulan yang ‘katanya’ merupakan hak asasi yang dijamin oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.

Yang menarik, dalam novel ini ada tokoh-tokoh khayalan yang ‘manusiawi’ tetapi mereka bukan manusia, melainkan ‘malaikat penjaga manusia’. Kedua ‘tokoh utama’ dari bangsa malaikat dengan menarik membungkus kritik-kritik atas segala perilaku manusia yang ‘mungkin’ semakin membuat jengah.

Mengejutkan. Di akhir kisah, tetap dengan bahasa yang sarat makna dan simbol, Remy Sylado memaparkan perjalanan kisah cinta antara Mary Jane Storm dan Joko Trianto. Agak malu sebenarnya saya membaca ini (saya membayangkan jika kedua malaikat di novel ini benar-benar ada dan ada disamping saya, maka ‘mungkin’ dia akan berteriak atau dengan takut-takut bergumam bahwa saya munafik). Tapi memang saya tidak bisa menikmati akhir cerita ini dengan konsentrasi penuh tanpa meloncati bagian-bagian cerita. Karena di akhir cerita ada ‘proses menuju hubungan yang lebih lanjut’ diantara keduanya. Dengan sisipan potongan cerita Kamasutra dari India, dengan triwikrama, uthitta asana, solacitakam, bhuganakam, dan upavistha shoolachitikam dan gaya Perancis; ne me chiffon pas, la chandelle, le bidet, dan une bonne position, dengan dengan dengan deskripsi yang mendetail.

Pada bagian ini saya cuma berfikir bagaimana kalo anak-anak remaja yang penuh tanda tanya dan penasaran membaca karya ini. Apakah berefek? Atau anak-anak kecil yang masih ‘polos’. Di akhir cerita saja.

Bukan berarti karya-karya ‘semacam ini’ tidak layak hadir dan harus diberangus begitu saja. Namun harus adanya keseimbangan, jika tidak bisa dikatakan sebgai pembatasan. Tidak adanya sekat secara teknis dalam penglasifikasian letak pada pemasaan karya tersebut misalnya. Atau mungkin kedewasaan dan pendewasaan dalam memilih bahan bacaan untuk diri sendiri.

Karya sastra merupakan salah satu media untuk transformasi nilai dan pembentukan pola pikir. Andai saja remaja kita, anak-anak kita telah dicekoki dengan konsumsi ‘produk intelektual’ yang belum waktunya mereka telan, apakah akan ada proses yang matang dalam psikis, mental, bahkan fisik mereka.

Menunggu kesadaran imajinasi. Memang benar, Ayu Utami pernah mengatakan dalam suatu diskusi tentang media, imajinasi adalah ranah yang benar-benar privat dalam kehidupan manusia. Terserah individu tersebut mau mengarahkan dan mengeksplorasi imajinasinya kemanapun, mungkin tanpa batas. Namun menurut saya akan berbeda jika kemudian imajinasi tersebut dikonkkritkan, ‘dieksploitasi’, dituang dalam karya, dibaca individu lain. Dinikmati. Ada tanggung jawab yang seharusnya juga dipikirkan oleh ‘pemilik imajinasi’ dan ‘penghadir imajinasi’ tersebut untuk mengawal, seitdaknya mempertimbangkan bagaimana jika karya ini—hasil dari imajinasi—jika dilempar ke masyarakat. Siapa yang layak mengonsumsi, atau dampaknya pada kepala-kepala lain yang mungkin juga memiliki imajinasi yang tak terbatas.


3 komentar:

Anonim mengatakan...

Sepakat!

Unknown mengatakan...

Berkerut2 keningku mbak, banyak istilah yang gagal paham aku. Masih ada bukunya? Pinjamkah!!

jiwa_biru mengatakan...

Ilang bukune mba. Opo o berkerut keningnya? Waktunya periksa mata mungkin... ;)