Kamis, 28 Agustus 2008

Master Of Glands (part 1)



Kita tidak berbicara tentang sistem syaraf kali ini. Tidak juga tentang komponen-komponen otak yang begitu luar biasa.

Kita bicara tentang ‘Master of Glands’ yang lain

Kumpulan remaja SMU yang penuh warna.



Si pendiam ‘Siti’ yang begitu polos dan ikhlasnya. Lebih suka menghitung-hitung uang dengan tabel debet-kredit, utang-piutang, namun tidak jelas wujud dan siapa pemilik uangnya daripada meninggalkan kelas untuk menikmati bakso di pinggir lapangan...

Ada.....

Ada...

Ada jago fisika yang sangat mencintai biologi. Suka musik tapi tidak bisa bernyanyi

Ada seorang yang benci kimia tetapi dipanggil sebagai ‘guru kimia’. Yang sering ngelantur jika bicara matematika. Pengkhayal yang lebih sering eror daripada benernya.

Bukan, kita tidak membincang tentang hobi membolos mereka, tingkah konyol mereka

Tidak juga dengan antrian ‘kasus’ mereka di ruang BP, polah mereka yang ajaib, atau tentang perbedaan yang sangat mencolok yang mewarnai persahabatan mereka. Atau kesamaan mereka sebagai ‘penghancur lelaki’. Menjauhi para lelaki karena latar belakang dan alasan yang kadang tidak bisa terbayangkan

Kita bicara tentang ‘filosofi’ dan hal yang tabu bagi mereka

yaitu pantangan mengucapkan ‘terima kasih’ dan ‘maaf’

Di saat ada ‘teori’ yang mengajak untuk ‘senyum, terima kasih dan maaf’

Kenapa?


Inilah kata mereka:

Terima kasih, sesudah itu apa?

Apakah aku melakukan sesuatu untukmu adalah demi ‘terima kasihmu’ yang seolah-olah aku mengharapkan itu, yang seakan-akan aku bukan bagian darimu

‘terima kasih’ yang menciptakan jarak antara kita. Hanya hadirkan formalitas atau ‘kepantasan’ pada ujung lidah saja

‘Terima kasih’ saat kau ucapkan maka kau meragukan keihklasanku, merasakan engkau adalah bebanku justru karena ucapmu itu yang membebaniku

terima kasih’, apakah ini bisa digunakan untuk menemukan sahabat? Apakah kata itu bisa menggantikan arti persahabatan?

‘terima kasih’ kau menghancurkan hatiku.... karena aku tidak butuh ucapan itu

‘Terima kasih’, karena kami merasa sangat berharga dengan bisa berbuat sesuatu untukmu, yang sebenarnya untuk aku juga..


‘maaf’ selalu hadir pada sungging senyum palsu

Seperti para bawahan yang menjilat atasannya

‘maaf’ selalu membawa ‘maaf’ yang selanjutnya

‘maaf’, siapa saya?

‘maaf’, bahkan aku tidak bisa memberi secuil pun keburukan padamu

‘maaf’, Tuhan Yang Maha Berkuasa Saja memaafkan kesalahan terbesar hambaNya yang bertobat

‘maaf’, tanpa ucapmu itupun aku telah merelakannya

‘maaf’, begitu mudahnya engkau ucapkan itu

‘maaf’, bisa aku gunakan untuk apa?

‘maaf’, engkau telah menyinggung kami karena engkau meragukan kepercayaan kami padamu

maaf’.....

........................................ (dan banyak sekali alasan yang membuat mereka ‘benci’ dua kata ini)


Konyol memang, atau bisa dikatakan naif?

Namun dengarlah kisah selanjutnya,

Tahukah engkau tentang sebuah doa?

Mungkin rangkaian kata indah yang mengganti ‘kepalsuan terima kasih’

Tahukah engkau dengan kalimat ini?
”Semoga Alloh membalasmu dengan kebaikan.”

Indah kan?

Balasan itu, kita serahkan kepada Sebaik-baiknya Pemberi balasan

Karena kita tidak bisa memberikan balasan terbaik apapun selain doa kita pada saudara...

maaf’. apa yang kau rasakan saat orang lain selalu merasa bersalah padamu? Sedangkan Yang Menciptakan dia membuka pintu maaf yang selebar-lebarnya. Apakah engkau cukup pantas untuk menerima kata maaf itu. Tidakkah sebaiknya kita merangkulnya segera agar kata maaf itu tidak pernah terucap untuk kita...

Karena saudaramu telah melapangkan ruang yang luas di hatinya untukmu

Cukup kepada Pemiliknya saja, Yang Bisa Memberikan apapun padanya

Cukup dia merasa bersalah pada Tuannya....

Sahabat, bagi mereka (saat itu) ikatannya lebih kental dari darah. Apapun yang kupunya adalah untuk engkau juga. Namun jangan kau coba rusak kepercayaan kami..



Itulah sebagian kecil episode tentang Master of Glands, dengan ‘Persaudaraan Premannya’. Yang tidak pernah mengungkapkan bahwa mereka saling Cinta. Tapi mereka merasakannya. Mereka terus berproses. Terus mencari. Keadaan berubah, dan merekapun berubah. Tentang apapun... jangan kaget jika kepribadian, penampilan dan kebiasaan mereka ‘tertukar’ karena aku yakin hati itu sifatnya tidak bisa tetap. Seperti air yang dicampur alkohol, air raksa, formalin, NaCl, spirtus, citrun, detergen, air kelapa, air tape, kaldu, kuah bakso, santan dan jahe. Seperti (99987644876520049764325-909899)+(321987x9754788)+(39865432: 52)x 0 = banyak ^_^


13-08-2008. 00.1., saat aku rindu pendakian konyol di gunung Klothok dan bukit Mas Kumambang.... Cari wangsit untuk UMPT :D. Songgoriti dilarang ‘Hollywood’pun tak terhalang




..................

Lagi-lagi di hadapan Dito aku mendapatkan sesuatu

Yang menamparku

Menggetarkankan

Dan membuatku kembali luluh

Dengan pertanyaan polosnya

Dengan pernyataannya yang selalu membuatku tertawa..

Kami membahas tentang surat Al-Qadr, Malam Kemuliaan

Lalu aku kami merangkai ‘film’ di atas kepala kami

Tentang malam ketika Muhammad didatangi Jibril, keheningan dan turunlah Ayat Mulia itu. Wahyu pertama dari Pemilik Dunia

Iqro..... Bacalah....

Tentang ribuan malaikat yang turun ke dunia atas ijin Alloh untuk menyelesaikan urusan di muka bumi....

Tentang sayap malaikat yang ketika satu malaikat saja bila membentangkan sebelah sayapnya akan menutupi alam semesta.

Apalagi sepasang sayap malaikat

Apalagi jika ribuan malaikat

Yang tidak bisa kita jamah, dengan mata yang juga hanya titipan

Apalagi saat malam yang kesejahteraan terlimpah

Menukik turun ke bumi dan terus bertasbih

Bersama angin, bersama debu, bersama air

Bersama tiap keping darah pada jutaan tubuh manusia

Yang lebih cemerlang dari sinar bintang

Tak kenal lelah

Di bulan penuh Berkah..

“Berarti sebentar lagi ya ustadzah.”

Ah.. aku jadi teringat apa yang telah aku persiapkan untuk menyambutnya..

Malam kemuliaan, yang lebih indah dari malam seribu bulan

Apakah dia akan terlewatkan begitu saja

Dalam buaian dunia

Buaian manja atas segala yang bisa meringankan ‘beban’ bersalah saat melewatinya saja tanpa menyapanya

Dan sibuk dalam perayaan mati di akhirnya

Bisa jadi ini adalah Ramadhan terakhirku..

Ya.. Siapa tahu.


  • Apakah cicak dengan ‘ck..ck..ck...’nya juga bertasbih?” itulah pertanyaan manisnya

Dan ketika pulangpun sepertinya ‘tamparan’ itu masih kurang.

Beberapa saat yang lalu, beberapa jam yang telah terlewati

Aku sempat mengeluh, “Apalagi ya Alloh setelah ini...?”

Dan aku meragukan janji Penciptaku. Janji Yang Menjamin Setiap Keping Rizkiku

Lupaku pada Janji tentang kemudahan bagi hambaNya yang bersyukur

Dan sekarang di hadapanku, sesuatu yang tak kusangka datangnya begitu cepat

Menciptakan gumpalan getar yang tak bisa kulukiskan

Gumpalan yang akhirnya mengaburkan mataku di perjalanan pulang

grimis, bahagia, takut dan harapan

Bahwa peringatanNya sangat dekat di depan mata

Diantar celoteh lucu Zidan dan tatapan bahagia Dito di gerbang rumahnya, aku berkata pada jingga di barat sana dan jingga, “Lalu kita mau kemana?”

Dan akupun menghadapi angin senja yang menghadang siap menampar wajah-wajah tak tahu malu dengan kandungan racunnya yang semakin membuatku sesak...


Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.(At-Thalaaq:3)


Maha Suci Engkau Wahai Penguasa tiap jengkal alam semesta


Baitul Izzah, 2.,35 12 Agustus 2008

Sinetron Islami, Antara Pencerahan dan ‘ Penyesatan ’


Maraknya Industri hiburan di Indonesia akhir- akhir ini menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat akan hiburan meningkat. Entah hiburan untuk sekedar melepas penat dari aktivitas kehidupan yang semakin padat dan membosankan atau hiburan yang hanya untuk memanjakan diri. Memanjakan imajinasi dan harapan yang dirasakan semakin jauh dari kehidupan nyata.

Setelah sekian lama industri hiburan mengeksploitasi ‘ dunia lain’ habis- habisan. Kapitalisasi dunia klenik tanpa mempertimbangkan efek buruk bagi penikmatnya. Baik itu efek psikologis, rasionalitas dan efek- efek buruk lain yang pantas untuk dipertimbangkan. Tayangan- tayangan misteri mulai dari yang fiktif sampai yang ‘nyata’ digeber habis. Dari Misteri Gunung Merapi dengan Grandongnya, sampai Dunia Lain dengan ‘menjebak penghuni dunia lain’ dalam frame kamera.

Efek jangka panjang yang sangat menentukan mental bangsa ini mendatang adalah efek pada perilaku anak- anak. Tayangan misteri yang dirasa minim nilai pendidikan justru sangat digemari anak-anak yang memiliki masa-masa perkembangan imajinasi. Hal ini berpengaruh pada mental dan perilaku. Kemampuan untuk berpikir secara realistis dan dewasa semakin berkurang. Bagaimana tidak, sedikit- sedikit dihubungkan dengan penampakan. Para orang tua pun terbantu ketika mereka bandel tidak mau mandi atau tidur. Hanya dengan “ Awas nanti dibawa mak Lampir lho kalo nggak mau tidur”, “Jangan main sampe malem ada penampakan lho”. Anehnya banyak anak yang manut juga, sehingga kekritisan terhadap suatu fenomena pun semakin turun. Sebaliknya sangat meresahkan bagi para orang tua yang sangat memperhatikan akidah anaknya. Misalnya kebelakang untuk ambil wudhu saja si anak menjadi penakut, khawatir disamperin oleh ‘panampakan’ yang gambaran visualnya sangat jelas dalam memori. Ketika dimotivasi dengan menjelaskan bahwa ‘ mereka hanyalah makhluk, ada yang lebih tinggi dan perlu lebih ‘ditakuti’ pun tidak begitu berhasil. Perubahan perilaku masyarakat secara umum juga umum juga nampak.

Ada pengalaman menarik, ketika saya naik kereta, ada seorang bapak dan putrinya yang berusia sekitar sepuluh tahun sedang asyik berdiskusi. Saya mencoba untuk mencuri dengar sebelum saya memutuskan untuk bergabung dengan mereka, kebetulan sampailah kami pada stasiun kecil yang terlihat sangat suram. Dengan sangat mengejutkan, bagi saya, sang bapak mengatakan pada putrinya bahwa tempat itu sangat cocok untuk ‘menjebak penampakan’ dan menantang sang anak apakah dia berani kalau misalnya malam hari dia dibiarkan sendirian di sana. Dan sang anakpun menjawab dengan kata dalam suatu iklan “ Hii.. serem Pak, gak wani aku, medeni” ( gak berani saya, menakutkan). Akhirnya saya mengurungkan diri untuk berabung dan berpikir tentang fenomena ini.

Akhirnya tayangan semacam ini semakin berkurang, entah karena berbagai macam kritikan karena dianggap sebagai perusak mental atau pendangkalan akidah. Atau mungkin karena memang ada penururan rating yang akhirnya tidak menguntungkan bagi produsen sendiri.

Tetapi masalah pun belum selesai sampai disini. Setelah sedikit dilegakan dengan topik sinetron yang mengangkat masalah moral dan kemanusiaan, sampai dengan sinetron yang bermuatan religi. Awalnya ada beberapa sinetron yang bertujuan untuk syiar Islam dan penyampaian moral. Sebut saja Astaghfirullah yang ditayangkan di SCTV yang memperkenalkan metode pengobatan syar’i yang dicontohkan oleh Rasululloh yaitu Ruqyah. Karena ratingnya yang tinggi mengikuti pendahulunya yang ditayangkan di TPI, sehingga mulai bermuncullanlah sinetron yang bernuansa Islam. Sinetron remaja pun berbondong- bondong ‘alih jalur’ dengan menyertakan simbol simbol Islam. Sinetron kolosalpun tak mau ketinggalan. Di satu sisi memang merupakan suatu kemajuan ketika tayangan mulai memperkenalkan nilai moral yang indah dalam kehidupan yang berlaku untuk semua manusia. Tentang kelapangan hati, tentang kesopanan, kesederhanaan, kebijaksanaan dan nilai- nilai kemanusiaan lainnya. Tetapi akan sangat ‘merugikan’ ketika hanya menyertakan simbol saja. Misalnya saja cerita cinta ( pacaran) dengan disertai kegiatan religi, positif memang jika dibandingkan dengan model pacaran sebelumnya yang menunjukkan kebebasan. Tetapi paradoks jika dihadapkan dengan aturan Islam yang telah mengatur hubungan antara lelaki dan perempuan dengan sangat manusiawi. Manusiawi, karena sangat berhubungan erat dengan potensi dan kecenderungan manusia. Dalam Islam, hubungan antara lelaki dan perempuan sangat di jaga. Karena Pencipta Manusia tahu kemampuan makhlukNya. Kemampuan dalam menjaga kebersihan hati, kemampuan dalam menjaga hawa nafsunya dan kelemahan- kelemahan manusia.

sungguh, jika kepala salah seorang dari kalian dicerca denga jarum besi menyala, adalah masih lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tiada halal baginya. “ (HR Ath Thabrani dan Al Baihaqi)

Aturan ini bukan untuk membatasi gerak atau membebani manusia hanya dengan masalah pergaulan. Karena bisa jadi hal ini sebagai legitimasi manusia atas ‘halalnya’ pacaran, atau hubungan perempuan dan lelaki tanpa menikah. Padahal sebenarnya sangatlah bertentangan dengan aturan yang sebenarnya.

Setidaknya itulah salah satu contoh ‘ masalah’ dalam sinetron Islami saat ini.

Ada lagi pencampuran dunia klenik dan dunia manusia yang juga sudah diatur dalam Islam, Misalnya dalam salah satu sinetron yang menvisualisasikan bentuk iblis dan malaikat. Juga dalam sinetron yang menggambarkan bahwa peri adalah makhluk utusan Tuhan yang ditugaskan untuk menyelesaikan masalah anak- anak yang baik dengan keajaibannya. Di satu sisi hal ini juga membuat sang anak hanya berimajinasi bahwa masalah akan selesai tanpa dia melakukan aksi, karena ada kekuatan ‘sang penolong’. Sehingga anak-anak hanya disibukkan dengan khayalan yang belum tentu ada. Meskipun begitu ada juga efek panyampaian moral yang baik pada mereka.

Dari segi bahasa dan penyampainnya, dalam sinetron islami ‘ hanya’ menyampaikan salah-benar, dosa-pahala, surga-neraka tanpa pengertian yang menyeluruh. Sehingga ada paksaan atau ketakutan akan balasan yang akan diberikan oleh Tuhan. Sehingga memberikan kesan mengerikan pada aturan agama yang berakibat pada penurunan optimisme. Mungkin berbeda jika disampaikan dengan bahasa yang cantik, tanpa paksaan, tentang suatu konsekuensi dan pengertiannya. Yang akhirnya berdampak pada perilaku penyikapan suatu masalah dan mengambil keputusan dalam kehidupan dengan bijaksana dan menyenangkan.

Dan akhir-akhir ini, menjelang bulan Ramadhan atau mungkin masih mengikui arus sukses karya besar, dengan keuntungan yang (mungkin) juga besar Film Ayat-ayat Cinta. sinetron islami yang ’menjual cinta’. Ambillah contoh Munajat Cinta yang dibintangi oleh pemeran Aisha dalam AAC, Rianti Catwright di satu sisi ada hal-hal positif untuk pengembangan moral. Namun di sisi lain masih saja sarat air mata dan penderitaan. Seolah-olah menjadi orang baik dan sabar itu identik dengan lemah, menderita, miskin, sendiri dan air mata. Sosok Khumaira adalah sosok protagonis yang pemaaf, lembut, nrimo. Hingga dia mengijinkan suaminya untuk menikahi partner kerjanya (yang juga berjilbab) yang diperankan oleh Saskia Mecca. Seakan-akan tokoh yang jahat tidak mempunyai kebaikan sama sekali. Dan tokoh protagonis selalu yang benar dan tidak pernah punya rasa benci atau emosi. Mungkin cerita-cerita yang senada akan menyusul untuk meramaikan industri hiburan kita.

Tidak bijak rasanya ketika suatu kritik tidak disertai dengan solusi yang ditawarkan. Sehingga kita tidak hanya menjadi penilai suatu masalah, tetapi juga bisa turut menjadi bagian dalam penyelesaiannya.

Dunia hiburan, sudah saatnya berubah bukan hanya sebagai suatu komoditas ekonomi atau hiburan semata tetapi juga merupakan suatu sarana pendidikan yang sangat potensial. Baik pendidikan moral, etika, optimisme, keindahan hidup. Tetapi juga tentang kedewasaan dan kebijakan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Sudah sepantasnya kita aktif dalam membangun kebaikan ini dengan menunjukkan rasa kepedulian atas tayangan yang ada. Kita ikut memonitor dan menyampaikan keberatan. Tetapi pujian atau penghargaan juga pantas dilakukan jika memang tayangan tersebut berkualitas dari berbagai aspek.

“ Mintalah fatwa pada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pada hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.” (HR Muslim )


wallahu’alam

Rabu, 20 Agustus 2008

dia telah berlalu

duduk sendiri
memandangi lalu lalang manusia
darimana dan akan kemana
atau sekedar duduk saja
bertanya pada jiwa
selanjutnya apa..

menatap sendiri
hampir lupa diri
bahwa malam terus berlari

aku tertawa...
aku ingin sepenuhnya.
aku tersenyum, sungguh aku tersenyum
sudah kupuaskan
bahwa sadar kumulai seperti awal
memandang sendiri
di tempat yang selalu membawa hening

memasung khayalku
dan memandang nyata

aku berkata
tapi aku tak tahu apa yang telah terkata
aku lupa
atau 'tidak ada'?



stasiun sadarku. malam

Senin, 11 Agustus 2008

kangen....

Si Bolang,

Jalan Sesama,

Laptop si Unyil,

Cita-citaku

aku kangen sama mereka



Setelah seharian tidak ada hiburan yang kerenkerennya

mata lelah dan pikiran buntu

panas..

coba liat di trans 7 jam 13.00

Acara-acara ‘sederhana’ itu yang memberikan harapan

Cobalah sekali-kali nikmati acara-acara itu

dan ceritakan padaku, hari ini kita kemana dan belajar apa...

karena aku sekarang tidak bisa bertemu mereka dan ponakan kecil saya

sambil tertawa dengan penuh makanan di mulutnya

dengan baju seragam yang belum dilepas

berteriak-teriak,"bermain gembira di jalan sesama... uwi...uwiii..."



ah... bisa jadi mereka lebih bijaksana dari kita..


Belajar menggambar...

Imen, waktu itu masih TK. Nol kecil

Banyak yang bilang dia nakal

Tidak bisa diam

Waktu ‘pelajaran’ menggambar dia menggambar bunga dan tangkainya

Itu yang diarahkan oleh gurunya. Semua menggambar bunga

Setelah selesai gurunya ‘komplain’,

“Lho mas, bunga kok hitam... seharusnya merah dan daunnya hijau.”

Apa jawab Imen ? (lepas dari makna psikologis dari gambaranya)

Lha iya, ini bunga garing. Sudah busuk..” ^_^

kami tertawa mendengar cerita ibunya

cerita kedua, seorang gadis kecil juga waktu TK, malas sekali kalau ‘pelajaran’ menggambar.

waktu itu dia di kelas Nol besar (masih penasaran, kenapa dulu dinamakan nol besar dan nol kecil. Ada yang tahu?)

Semua sibuk menggambar. Kebanyakan menggambar gunung. Dan Lisa temannya membuat iri. Gambarnya bagus.

Karena tidak betah harus duduk menggambar, dia berlarian, mengganggu yang lain, kesempatan keluar main ayunan

Bu Guru pun menegur melihat kertasnya yang masih putih bersih,

Ketika ditanya ia bilang itu gambar salju.....

Putih bersih.


begitulah, saya kadang tidak sepakat ‘menilai’ kepribadian atau psikologis anak melalui gambarnya. Walaupun seringkali saya juga melakukan hal yang sama.

Saya pikir (dalam konteks ‘belajar’ menggambar) hal ini membatasi imajinasi.

Coba kita lihat dibalik cerita di atas.

Imen anak yang ‘aktif’ terkenal ‘nakal’. Waktu itu dia tidak membawa pensil warna, yang dia punya— berhasil dipinjamnya berwarna hitam... (kok ya bisa ya dia cari alasan :D)

Apakah pendidik bisa memaksanya? Bukankah baik jika berpikir di luar kelumrahan? Haruskah bunga berwarna merah? Kan ada sekarang bunga yang berwarna biru....

Walaupun sedikit banyak dari jawabannya kita bisa mengira-ngira psikologisnya.

Cerita yang kedua.... waktu itu film Oshin sedang booming

Setiap petang gadis itu ada di punggung kakaknya untuk melihatnya di tetangga rumah. Ketika malam, kakaknya bercerita tentang salju, andai salju turun di sana. Mirip hamparan salju saat Oshin berlari kedinginan. Itulah saat pertama dia mengenal yang namanya salju. Mungkin sedang ‘euforia salju’. (kalau pas puasa di tengah-tengah salju enak mungkin ya? Pas buka, tinggal tuang sirup. Seger.... tapi udaranya tetap panas, ngga dingin. Bisa ngga ya..)

Alasan kedua.... yah.... harap maklum memang dia malas... ^_^


Selasa, 05 Agustus 2008

dengarlah laguku…

berusaha untuk berdamai dengan hati

melembutkannya..

dalam sendiri

dalam gelap

juga penat

mencipta senyum untuk aku

yang sebenarnya

karena telah aku coba

belum bisa

senyum itu hadir hanya sejenak dan tak sepenuhnya

mengapa?

mencoba menawar hati

yang membeku

menjadikannya lebih hangat

untuk mereka

dan menyadari

walau aku berlari

saat itu pasti tiba

merayu kenangan dan bayangan agar memudar

bersama benci

yang sedang mencari setia

kediri, 5 Agt 2,.,,

ditemani ramuan ajaib yang sudah dingin

dengan komposisi cinta yang kubuat sendiri

rasanya pahit :)

Senin, 04 Agustus 2008

Biru itu indah, Tapi..

Karena langit tanpa tiang

Karena samudera yang membentang itu

Karena bintang yang paling terang

Karena air yang melingkupi bumi

Hijaunya pohon di bentangan gunung

Karena damai

Karena gumpalan kabut disepanjang putih salju:

Adalah biru. Warna primer dalam spektrum warna

Mendampingi merah dan kuning

Seperti jiwa diantara raga dan akal

Seperti air di antara tanah, kayu dan api

Tapi,

Jika fajar dan sinarnya adalah biru, adakah kehangatan?

Jika bebuahan semua membiru, adakah kesegaran?

Jika jingga tak lagi ada

Dan saga merahnya senja memudar,

Mengalirkah kesyukuran itu?

Di hadapan Dito, 17.0.. setelah kami merangkai spektrum warna.

Mencoba membuat pelangi ^_^

Dan berimajinasi... jika tanah dan kulit kita transparan...

sebelum berakhir...

Pernah aku berharap suatu saat, sebelum aku mati., dan sebelum aku terperosok lebih jauh pada kubangan kebodohan ataupun ketidaktahuan, bertemu dan melihat kehidupan Muhammad, yang oleh manusia Islam diyakini sebagai utusan Alloh. Pengemban risalah ilahiah untuk umat manusia. Apa yang ingin kulihat, setidaknya kutanyakan padanya jika waktuku bertemu tidak panjamg?

Aku hanya ingin melihat, bagaimana ukhuwah yang erat pada zamannya. Bagaimana kerasnya Umar dan lembutnya Abu Bakar menjadi perpaduan yang indah meski hiasan pertentangan pun seringkali tak terelakkan. Bagaimana cerdasnya Ali dan pemalunya Utsman menyinarkan cahaya ketawadhuan. Bagaimana kebersahajaan Bilal dan kesederhanan Abdurrahman bin ‘Auf memupus kecemburuan.

Bagaimana seorang Khadijah yang perkasa dengan kecintaannya, bagaimana Asma, Fatimah atau si cantik Aisyah menjaga kehormatan dirinya. Atau Ummu Sulaim yang tahu berapa harga dirinya untuk dipesunting seorang Abu Thalhah.

Aku ingin merasakan ketenangan para muslimah tersebut karena agungnya kesadaran bahwa kehormatan dirinya adalah sesuatu yang tak ternilai. Walaupun ditukar dengan dunia seisinya. Aku ingin tahu bagaimana ketika Fatimah bertemu Ali saat ikatan kehalalan itu belum tercipta. Saat Fatimah memendam rasa pada Ali. Atau saat para sahabat dan shahabiyah berkumpul. Apakah ada canda tawa? Apakah ada yang saling bertukar rasa, apakah ada yang saling menjatuhkan? Aku ingin tahu… karena aku ragu, apakah aku mampu…

Dan aku juga ingin bertanya padanya, apakah surga benar-benar berwarna hijau… tidak adakah biru disana…

Buaya, 7 januari 2008

Cinta Sejati itu Benar-benar ada ya..???

Sebuah renungan. Yang tiba-tiba datang

Tentang seorang lelaki dan perempuan

Dari cerita saudaranya mereka pernah saling men’cinta’

Terakhir bertemu di kandang kuda. Di pisahkan oleh tembok yang tinggi

Si perempuan berkata pada bapaknya ingin memberi makan kuda

Ketika bapaknya lengah, dia menaiki tumpukan rumput dan jerami

Melongok di balik tembok. Menemui sang lelaki

Tidak saling menatap

Hanya bertemu dalam suara

Dan mungkin gundah

Tiba-tiba adik laki-laki si perempuan datang

Membawa ketapel. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Usilnya datang, diarahkannya ketapel pada kakaknya

Pletak..! kerikilpun mampir di dahi si perempuan.

Meninggalkan bekas yang samar

Puluhan tahun telah berlalu

Perempuan itu telah melahirkan lima anak

Dan mempunyai cucu

Dari lelaki yang datang pada bapaknya

Dan lelaki dibalik tembokpun sudah memiliki kehidupan sendiri

Walau keputusan untuk memulai hidup barunya agak terlambat

Suatu waktu mereka bertemu. Tanpa sengaja

Si perempuan salah tingkah ingin segera pergi. Dia tersenyum seperti menghalau sesuatu

Si lelaki menatapnya... ada sesuatu di matanya. Dan senyum penuh kedewasaan

Anak perempuan si perempuan diam belum tahu ada rahasia apa antara perempuan dan lelaki ini.

Anak laki-laki si lelaki tersenyum pada anak perempuan si perempuan, mungkin dia tidak tahu apa yang sedang terjadi

Kejadian itu hanya sekelebat. Tapi tetap menyisakan tanya

Seperti kerikil yang membekas di dahi yang perlahan menghilang..

Namun mereka tetap memilih setia kepada yang seharusnya

Mungkin itulah bahagia bagi mereka

Tau ah itu urusan orang gede

Tapi lucu juga

Mungkin itu ya yang namanya ‘rasa’

Memang nggak bisa dipahami

Seperti di film-film saja

^_^ kenangan yang menghiasi hidup mereka berdua

untuk pelajaran bagi yang masih muda

agar tak mudah mengumbar rasa

atau pelajaran tentang takdir yang ‘harus diterima’

karena semua adalah rahasia

Juga tentang setia

dan ‘pengorbanan’

karena diri kita bukan semata hanya tentang kita

apa yang dihadapan itulah pemberian terindah

Menunggu hadirnya dan luapkan segala rasa. Menyerahkan sepenuhnya

tanpa luka dan noda

menjaganya

mungkin itu juga setia

Jadi inget pertanyaan penutup sebuah karya yang manis:

“Bunda... apakah jodoh kita namanya telah tertulis di atas langit?”.

”Ya, anakku..., sama seperti kita, di sana ia sedang berjuang keras untuk terus memperbaiki diri, juga sedang menunggu kita untuk bersama mendendangkan Tembang Cinta...”

Ya kaaan... semuanya masih rahasia

Terus??

Kalo kata Yovie n Nuno,“Biarlah aku menjaga perasaan ini wooo... menjaga segenap cinta—apa jiwa ya?—yang telah kau beri...” (sering dinyanyikan ponakan kecil saya nih) – kasian ya... terus ‘menderita’, terus menjaga sesuatu yang belum jelas...

Kalo saya si milih yang Aa Gym (kemana ya... beliau ko lama ga keliatan di tipi—ato saya yang g punya tipi jadi g pernah ketemu :P) bilang,”Jagalah hati...“(kalo ini banyak yang hafal kan..?)

^_^ hihihi..... malu. Anak kecil nulis tentang urusan orang gede, belum pengalaman juga...

  • Untuk sepupu lelakiku. Yang waktu nyetir tiba-tiba diam dari tertawanya.

Dia menangis! Lelaki, 22 tahun di pipinya ada air mata. Di hadapan kami. 3 perempuan. (cerita yang agak ngga nyambung lagi ni)

Dia menambah volume tapenya

Adeknya yang paling paham dengan mata usil menempelkan telunjukknya di bibir “sssttt...” kami diam. Asal selamat saja.

Ooo....Ternyata dengar lagunya ‘Janji Suci’ Yovie n Nuno. Yang syairnya gini ni...:

“Dengarkanlah... wanita pujaanku

malam ini akan kusampaikan

janji suci kepadamu dewiku

dengarkanlah kesungguhanku...

Aku ingin.... mempersuntingmu...”(saya kok jadi hapal ya...lha iya diputer terus...)

Lalu adeknya cerita. Ternyata dia baru saja putus... saat merencanakan untuk melamarnya.... setelah setahun pacaran.

kasiiiiaaannn.....(sasaran empuk untuk terus digoda ni...)

makanya kalo ngga mau putus jangan nyambung. Aneh-aneh saja ya...

biar ngga ada syair gini ni: “akan kutolak dan buatmu hancur... walaupun berulang engkau meminta....” meledaklah tawa kami. Dia? Tetep sedih.... diam. Tiba-tiba meringis...

saya terus menyerangnya. Tidak memberi jeda padanya —sebenarnya aku ingin menghiburmu Mo.

Cinta.... deritanya tiada akhir...

Sekali lagi.... kasiiiaaannnn....

Tiba-tiba dia panik, menyuruh saya nunduk dalem-dalem... (o o dia tersinggung batin saya. Saya ikut panik.)

Ternyata kita melewati para polisi di pinggir jalan. Pick up ngga boleh lebih dari tiga orang.... walah ajang balas dendam. Udah sumpek, gelap, tapenya keras lagi. Dia meringis... geleng-geleng kepala. Dengan menghela napas dia bilang, “kasiaaaan....”

Kediri, 24 Juni 2008

Sebulan tanpa HP

Berani?

Coba ingat lima, enam, atau delapan tahun yang lalu.

Saat hp adalah barang mewah

Saat dia belum terwujud di genggaman tangan

Apakah kita mati?

Bandingkan kini

Saat pulsa kosong,

Sedang di pelosok daerah yang sinyalnya susah ditangkap,

Atau dia menjerit minta diisi energi dan perlahan mati. Ga bisa hidup lagi

Apa yang terjadi dengan kita?

Seolah-olah ada yang ‘hampa’

Benarkah?

Pernah coba matikan hp barang sehari?

Atau sepekan?

Apakah hati ini tenang?

Atau saat sengaja mematikannya ketika mau menghadap Sang Pencipta

Apa yang kita rasa?

Tanda tanya, tidak sabar, pikiran yang melayang-layang atau mungkin kekhusukan?

Coba matikan HP. Barang sebentar.....

Apa yang berkecamuk dalam jiwa?

** merindukan saat-saat lebih dari sebulan tanpa hp. Di awal semester sepuluhku. Banyak yang komplain, ada yang marah-marah. Ada yang bingung. Ada yang bilang ‘aneh’. Kadang merasa terasing, kadang merasa lepas-bebas. Kadang was-was...

lama-lama tenang. Aahh... maksiat berkurang. Hati lebih terjaga J. Yang iseng merasa diisengi. Sms dan panggilan tak berguna hilang. Plong... tenang... senyum lebih terkembang. Dan kini ketagihan ^_^. Walau sadar kadang ada yang ‘terugikan’.

Persaudaraan dan persahabatan semakin erat. Kenapa? Yang dulunya Cuma pencet-pencet tombol urusan beres... jadi lebih ‘ribet’ karena harus datang langsung ke rumahnya. Nengok ke kamar kosnya. Janjian ketemuan dimana... jadi semakin banyak cerita. Tidak efektif memang. Boros waktu, bensin, tenaga, biaya. Tapi bisa jadi lebih menyenangkan dan membahagiakan.

Kalau biasanya nunggu di stasiun, di terminal, di ruang tunggu rumah sakit, di tempat-tempat umum kerjaannya utak-utik tuts, konsentrasi penuh tak peduli dunia sekitar. Jadi ada kesempatan untuk bebincang dengan kawan seperjalanan.

HP. memang dia kebutuhan. Tapi rasa-rasanya kok semakin meraja...

berani menantang hp? Sepekan saja.

....

Malam hari. Di loteng kontrakan. Sepi. Sebuah pesawat lewat. Seperti bintang jatuh. Sesuatu yang indah saat aku melihatnya dulu. Tiga tahun yang lalu. Permulaan kisahku di kota buaya. Kebiasaanku menatap langit malam yang perlahan memudar. Saat ini, di loteng yang sepi, buku di tanganku yang sudah tidak menarik lagi. Lamat-lamat kudengarkan lagunya Erros, OST Gie. Sudah lama aku meninggalkan jenis lagu seperti ini. Biarlah untuk malam ini aku puaskan. Semoga ajalku tak menjemput, saat nanti ketika tanpa kusadari aku hanyut dalam keterlenaan.

Kembali pada bintang. Yang setia bersinar, membagi nyalanya bagi bumi yang mungkin tak akan pernah bisa disentuhnya, dijamahnya. Dia tak berharap untuk memiliki

Sampaikanlah pada ibuku dengan kesabarannya, melihat anaknya semakin tua. Dengan semangatnya dan sedikit kesombongan untuk mencari sendiri makna hidup. Menaklukan malam dengan pikiran yang selalu resah. Memaknai hakikat manusia dan kemanusiaannya Mencoba memecahkan tekateki. Apakah keadilan? Sedangkan realita telah menikamnya.

Sampaikanlah pada bapakku, bahwa harga diri anaknya terlampau tinggi. Yang selalu ingin berteriak bahwa aku bisa lepas bebas tanpa kekangan dan bantuan darimu. Sepatah kata maaf pun terlalu mahal untuk diungkapkan. Berjuang tegar dan tetap tegap menantang egomu. Keputusanmu. Yang sering diragukannya apakah itu untuk kebaikannya atau hanya kepuasanmu.

Itulah manusia. Ketika semangat hidup menyala pada hatinya, pada jiwanya. Terus mencari makna diri, makna malam yang selalu membawa tanya. Dan keadilan seperti apa yang akan tegak berdiri dan harus tegak berdiri. Untuk memuaskan tanya manusia—bahwa mereka hanya manusia. Kadang menyepi bersama malam dingin. Menapak di setapak jalan, yang tak pasti kemana ujungnya. Sedang jiwa berbisik. Yang kau cari dekat. Begitu dekat...

  • untuk mengingatkan jiwa, bahwa manusia terbatas, otaknya, pikirannya, umurnya. Segalanya. Bahkan imajinasi yang katanya tak terbatas. Sanggupkah kau membayangkan sejuknya syurga—atau nyala neraka?

Buaya, awal 2007

Mata-mata mata

Matamu memata-matai mataku

Tanpa kau sadari aku memata-matai matamu

Dan aku tahu matamu memata-matai mata jiwaku

  • mungkin ini sebabnya ya kenapa manusia perlu menundukkan pandangannya, biar ga ada persepsi, biar gak ada prasangka, biar gak ada keangkuahan, biar mata tetap teduh memandang dengan cinta

Perayaan sunyi

Perayaan sunyi

Dalam perkabungan atas kekosongan

Dalam perayaan atas kehancuran

Ketika kesendirian adalah perumpamaan

Dan pelarian atas kedirian adalah kebisuan

Hidupkah hati ketika semua itu terjadi

Hidupkah raga ketika berontak. Saat otak menggelegak

Berhentikah jiwa jika nurani selalu gagal membentengi

Ketika suatu waktu lelah menyapa

Dan ketika kebosanan adalah suatu ritual yang memperdaya

Perputaran waktu dan Perpaduan hidup adalah satuan dari tarian sunyi

Apakah aku akan tetap disini

Menyatu bersatu mengalunkan tangga lagu

Ketika ucapan atas ada yang menghangatkan jiwa

Ketika jiwa ingin bertanya kepada jiwajiwa yang mungkin terluka

Dan arak-arakan keranda tanpa air mata

Adakah suatu kegembiraan yang tiada

Dan ketika matahati gagal melindungi diri

Dalam senyumanpun menjadi sesuatu yang menakutkan

***kuliah seminar sastra di ruang Dekanat... apakah tanya itu harus tercipta jika dia tak lahir dari kesungguhan jiwa. Lalu mengapa semua bertanya? Aku juga.

Kadang sampai sekarang pun aku nggak habis pikir... kok bisa ya otak ini langsung bekerja ketika sebenarnya dia buntu, bahkan nggak ada satu bayangan katapun yang muncul dihadapannya. Tapi setelah ’ditekan’ dengan satu pandangan yang seakan berkata ”kamu mau lulus ga? Kalo mau, ikuti aturannya”. Waw...waw... reaksinya cepat. Apa karena Acnya yang terlalu dingin ditambah ’gerimis’, atau karena pikiranku masih terpaku pada ikan-ikan di akuarium. Atau karena pengalihan pikiranku yang berusaha membaca apa ya kira-kira yang ada di kepala teman-temanku (yang Cuma enam orang) sekarang... ngantuk, bored, makanan (nyam..sempat mampir juga sih di kepala), atau tugas lain yang masih menumpuk. Di pojok sana temenku lagi presentasi, menjawab pertanyaan sebelumnya. hihi... kalo kuinget2 pertanyaanku lucu dan ’agak’ kejam! Sory sist :P. Tapi lumayan dapat satu karakter yang kugambar di sebuah kertas kumal...

“Kosong” **

Ketika sebuah bangunan kepercayaan dipertanyakan. Ketika kerapuhan semakin terpampang.

Apakah diri akan berbicara sendiri. Tanpa hati? Tanpa Nurani?

Khusus MuslimahHitam tak selamanya kelam.

Putih tak selamanya suci.

Dalam hitam ada kemurnian.

Dan dalam putih pun ada keraguan

Dimana muara semuanya?

Lihatlah lebih dekat...

Dalam gelap. Perbincangan antara diri, jiwa dan alam. Aroma kematian dan keputusasaan.

Diri (putih): Keningku mengigau dalam sela mimpi yang memudar bersama sentuhan embun legam menetesi dahan- dahan dari pangkal daun hujan. Menyambut malam ketika mata ini tunduk, seperti kemarin saat nafas dan nadi berseteru mengandung ritual melankolis

Jiwa (hitam): Hitam berkelakar disudut bambu berkapur. Asap menjulang dari liur api yang melumuri riuh sedan gelegar merpati mengepak tinggi, lari dari kenyataan hati bahwa semua terhenti

Nyanyian alam (coklat-kayu): Hitammu berkelakar dalam sudut sembilu pilu yang menerjang, menentang, menggenggam, hati nuranimu hilang, meradang . akankah kau mengerti arti hati seperti kau pahami sepi?

Diri: Sepiku merasuk menusuk membasuh. Tidak lagi aku dapat membuka hati yang telah tertutup katup berpaut. Tidaklah mudah bagiku untuk mengikis sampai habis.

Jiwa: Namun kau punya visi, disini, di dalam yang paling dalam dihati yang paling sepi. Kau akan rasakan detak gemertak jantung dalam heningmu. Hening yang mengerti akan baik dan burukmu, benar dan salahmu.

Diri: Diam....karna ucapmu melukai hitam legamku

Nyanyian alam: Ketika terpaku pada masa yang lalu, enggan tuk mengenang, namun kian menggenang

Diri : Lalu hitamku? Yang sudah telah mengakar membatu?

Jiwa : Kikislah dengan tundukmu. Sirami, dengan bulir air dari matamu.Teguhkan inginmu tuk menepis hitam pada kalbumu

Diri: Ketika kerelaan dalam ambang

pertanyaan

ragu

dan keangkuhan hanyut bersama semburan darah

perih,

hancur,

jatuh

Nyanyian alam: Sujud yang mengiring langkah adalah tempat berserah diri, kehambaan dan ketidakmampuan akan perihal kegelisahan, kesepian sebab jarak dan yang membentang antara aku dan dirinya

Diri: Saat nanti aku akan mengerti kesendirianku adalah perlahan dan semua yang kudengar dalam sepi adalah renungan. Heningku mengigau setelah mimpi-mimpi memudar bersama sentuhan embun bening menetesi dahan-dahan dari pangkal daun hujan untuk menyambut pagi ketika mata ini tunduk seperti kemarin saat nafas dan nadi berseteteru mengalunkan ritme melankolis menuju titik klimaks

  • susahnya... menyadari kekurangan diri, mengakui keterbatasan. Mengikis kesombongan. Susaaaah banget. Apalagi kalo lagi pas merasa bisa. Wuah... sepertinya ‘aku’ ini manusia yang paling hebat. Trus sedikit-sedikit jadi lupa... jadi lalai... sampe hidup ini plus ibadahnya hanya ritual saja. Gak ada nilai lebihnya. Jadi jarang menghitung amal diri, wis intinya rasanya jadi gimana gitu... gelap banget. Masih untung ya kalau ada yang mengingatkan, atau mengalami sesuatu yang membuat kita ingat. Lha kalau Yang Bikin Hidup ini berkehendak bahwa hambanya yang satu ini dilalaikan terus... waaa ngeri... apalagi kalau gak sadar... siiing...Tau..ah... 8) semoga kita ingat dan diingatkan terus ya... walau kadang terlalu idealis... tapi harus itu.... jadilah idealis selagi kita bisa.. kadang ada alasan ‘harus realistis dong!’. BTW... idealis tu pasti ga realistis ya??? Mungkin gini ya: Gantungkan idealisme itu setinggi langit yang paaaling tinggi, genggam erat, namun biarkan kaki kita tetap menapak di bumi, bertabrakan dengan realita. Jika ada ‘masalah’ tengok ke atas... gimana sih idealnya... dan serahkan pada kaki yang menapak tadi... itu lho arahannya. Sekarang, bagaimana baiknya. Makin ruwet saja. Ya... gini deh kalo lagi error sambungannya. Tapi kalo dipikir yang idealis itu biasanya utopis... susah memang dicapai. Tapi mungkin kaan??! Bukannya pernah ada suatu masa yang kehidupannya ideal banget... semoga!
  • awalnya potongan puisi adek kelas. Yang akhirnya jadi kalimat pertama di di atas. naskah ini pernah kita mainkan tiga kali. Sekali di UHT Surabaya By KOSMIS crew: pew, tew, mew.... jadi kangen....
  • KOSMIS (Komunitas Seni Muslimah Sastra) sayap kreatifitas SKI

Fakultas Ilmu Budaya (dulu sastra)Universitas Airlangga — I proud about that ^_^

PERAN PEREMPUAN DALAM NOVEL

Karya sastra yang lahir pada dekade 2000-an yang banyak mengangkat kritik sosial. Seiring dengan gaung reformasi, keebebasan berekspresi dan berpendapat. Sehingga hadirlah karya-karya yang menyoroti masalah perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia mutakhir. Termasuk masalah perempuan. Banyak karya lahir yang, mengangkat masalah peran perempuan dan eksistensi perempuan dalam kehidupannya, persoalan gender bisa dikatakan sebagai topik utama dalam kepenulisan di Indonesia. Dapat kita lihat buku-buku karya perempuan pengarang yang mengangkat masalah perempuan. Seperti Abidah el Khalieqy, Djenar Maesa Ayu, Asma Nadia. Helvy Tiana Rosa, Dewi 'Dee' Lestari, Dewi Sartika, Pipiet Senja, Oka Rusmini, Titie Said, Ratna Indraswari Ibrahim. Walaupun dengan berbagai konsentrasi bahasan berbada, dan cara penceritaan yang berbeda pula.

Seiring dengan isu-isu sosial dan politik tentang keberadaan perempuan dan peranannya di wilayah publik. Ada yang beranggapanbahwa sistem patriarki Jawa dan sistem agamalah yang seringkali (dan selalu) memosisikan perempuan sebagai warga kedua setelah laki-laki. Agama yang memberangus wilayah kebebasan perempuan dan mengebiri perkembangan aktifitas dan kreatifitas mereka dalam berkarya.

Karya sastra adalah suatu wadah untuk menyampaikan pendapat dan wacana pada masyarakat pembacanya. Begitu juga pada novel ini. Novel Setitik Kabut Selaksa Cinta karya Izzatul Jannah menawarkan solusi atas masalah keberadaan perempuan dalam lingkungan sosial dan keluarga secara berbeda. Objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu (Saini, 1986: 14-15). Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.

Karenanya Izzatul Jannah pun ingin menyampaikan alternatif dari masalah yang dihadapi perempuan dari sudut pandang yang berbeda pula.

Izzatul Jannah, adalah seorang penulis dan juga pemerhati masalah perempuan dan anak-anak. Dalam perjalanan hidupnya penulis aktif dalam berbagai kegiatan seminar maupun terjun secara langsung, hal ini dapt dilihat dari kegiatannya sebagai aktifis LSM perempuan di Solo dan perannya sebagai Ketua Divisi Kewanitaan sebuah partai politik berasaskan Islam di Jawa Tengah. Sehingga wacana yang dilempar dalam novelnya membuka kemungkinan besar bahwa hal itulah yang dihadapi pada realita.

Keterlibatan seniman dalam berbagai masalah yang dihadapi masyarakatnya memiliki nilai istimewa. Menurut Lucien Goldman, sastrawan besar tidak sekedar menyampaikan pikirannya sebagai seorang idividu. Dia merepresentasikan pandangan dunia (world view, weltanschauung) bahkan semangat jaman (spirit of time) sebuah kelompok masyarakat (Damono, 1977).

Novel ini menceritakan tentang Laras, seorang gadis dari kalangan priyai Jawa. Ayahnya, Raden Tjokrowardoyo adalah seorang lelaki yang patriarkal. Dia menempatkan dirinya sebagai penguasa di rumahnya. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan seorang Laras untuk sekolah tinggi dan bekerja di luar.

Laras adalah pekerja sosial pada sebuah LSM perempuan (FCC) di Jakarta. Pandangan umum tentang perkawinan di lembaga ini sangat negatif. Seakan-akan pernikahan adalah suatu lembaga yang melegalkan lelaki untuk ’menindas’ perempuan. Sampai suatu ketika Laras memutuskan untuk menikah yang ditentang oleh seluruh teman di kantornya, apalagi Sandra seniornya.

Akhirnya Laras menikah dengan seorang lelaki yang belum pernah dikenalnya, kecuali kepribadiannya yang baik dan bertanggung jawab, Bayu. Seperti anak muda pada umumnya Laras menolak ketika Romonya memutuskan untuk menjalankan seluruh ritual adat Jawa. Sehingga demi idealismenya Laras Kabur bersama Bayu setelah akad nikah di sebuah masjid. Kepergian Laras membuat murka Romonya sehingga ibunda Laras, seorang perempuan Jawa yang menyadari perannya untuk mengabdi sepenuhnya pada suami harus masuk rumah sakit jiwa karena sudah tidak kuat dengan kediktatoran Suaminya.

Novel ini memaparkan pandangan para feminis tentang lembaga perkawinan

”Bukankah perkawinan adalah neraka Larasati?”(hal 19). Tentang pengungkungan suami pada lembaga itu. Sehingga mereka memilih kebebasan yang mereka sadari adalah relatif, tentang dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam rumah tangga, tentang sistem patriarki, pembagian kerja dan kedudukan sosial yang tidak setara.

Sampai kemudian Larasati mendapatkan wacana baru dari diskusinya dengan Muthmainah, seorang perempuan aktivis Islam,

”Rasulullah selalu ikut membantu istri-istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bahkan beliau menjahit terompahnya sendiri.”

”Seorang laki-laki adalah qawwam artinya dia adalah pemimpin bagi istrinya, namun bukan berarti laki-laki mendapat tempat yang istimewa.....(hal 30)

begitu juga pada penjelasan posisi perempuan dalam politik:

”Perempuan berhak memprotes dengan mengajukan argumentasi.”(hal 31)

Pada perjalanan perkawinannya, Larasati yang semula aktifis perempuan bekerja di rumah dengan mendidik anak-anaknya, tetapi kemampuannya dalam dunia luar membuat dia ingin bekerja di luar juga. Setelah 13 tahun berada di rumah Larasati meminta ijin suaminya untuk mengembangkan kemampuannya. Akhirnya suaminya mengijinkan karena dia yakin bahwa kemampuan istrinya lebih dibutuhkan di luar rumah oleh orang banyak.

Patriarkhi Jawa yang dikenal sebagai dominasi campuran antara feodalisme dan pembagian kerja walisan kolonial menempatkan perempuan dalam oposisi biner wilayah privat dan publik serta dunia reproduksi dan produksi sebagai sebuah konstruksi. wilayah publik dikonstruksikan sebagai superior dan rasional, sementara wilayah privat (domestik) inferior. Hal ini misalnya dapat kita lihat dari ungkapan tentang posisi perempuan pada budaya jawa, yaitu ‘ suargo nunut neroko katut (ke surga menumpang ke nerakapun mengikut pada laki-laki). Hal ini dapat dimaknai bahwa apapun yang dilakukan perempuan adalah sia-sia. Kerena tuhan tidak memperhitungkan peran perempuan atas kehidupan. Karena perempuan diciptakan sebagai abdi lelaki, dan kemanapun lelaki pergi perempuan harus mengikuti.

Dari novel ini Izzatul Jannah ingin mematahkan anggapan ini agar perempuan bisa tegas mengambil keputusan. Karena kedudukan perempuan adalah sama dihadapan Sang Pencipta :

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki danperempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama )Alloh, Alloh telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Q.S Al Ahzab: 35

Berangkat dari pengertian bahwa Islam mendukung penuh aktifitas perempuan untuk mengembangkan diri dengan memberi posisi mulia yang sejajar dengan laki-laki, dan pemberian dukungan sebagai motifasi untuk mengaktualisasikan dirinya, maka tidak ada hambatan dan kendala yang memaksa perempuan untuk menyembunyikan potensinya dalam berkiprah dan berperan aktif di berbagai aspek hidup dan kehidupan.

Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, nabi Muhammad s.a.w. bersabda yang bisa disarikan maknanya, bahwa nabi melarang perempuan yang menyerupai laki-laki dalam bentuk dan penampilan lahiriah. Namun patut difahami bahwa pelarangan tersebut tidak berlaku pada upaya perempuan untuk menyerupai laki-laki dalam kecerdasan dan amar ma'ruf.

Konstruksi politik yang bertaut dengan budaya patriarki yang membangun anggapan bahwa perempuan ideal adalah ibu rumah tangga (dunia domestik) yang mengabdi total kepada suami yang menguasai ranah publik adalah kurang benar. Karena Pembagian kerja dalam rumah tangga bagi laki-laki dan perempuan tidak mengungkung dan membatasi gerak perempuan. Laki-laki dengan fisiknya yang secara alami lebih kuat daripada perempuan dituntut untuk bekerja di luar rumah. Tetapi hal ini tidak lantas membebaskan lelaki daritugasnya sebagai seorang suami dan bapak. Karena dalam Islam Rasulullah selalu ikut membantu istri-istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bahkan beliau menjahit terompahnya sendiri.

Seorang laki-laki (dalam hal ini berperan sebagai bapak dan suami) dituntut untuk bertanggung jawab atas pendidikan dan perawatan anak. Dia juga harus memenuhi kebutuhan istrinya tanpa keterpaksaan. Apabila ada anggapan bahwa urusan rumah tangga adalah tanggungjawab perempuan semata dan bangunan masyarakat yang komplek adalah daerah kekuasaan laki-laki, harus diluruskan. Karena terjadi pemborosan sumber daya manusia dan penyia-nyiaan potensi yang seharusnya bisa dikembangkan di tengah masyarakat. Seorang perempuan pun ketika dituntut untuk lebih mencurahkan peratiannya pada pendidikan anak bukan berarti tidak bebas mengekspresikan kemampuannya, bahkan dia wajib memenuhi kewajibannya menuntut ilmu, dan mengabdikan ilmunya untuk orang banyak. Perempuan juga memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan yang sejajar dengan laki-laki. Namun pada implementasinya, perempuan belum mendapatkan kesempatan untuk mengoptimalkan aset ilmu yang di peroleh untuk kemajuan lingkungan di mana ia berada. Alasan jender tidak bisa dijadikan legitimasi dikeluarkanya larangan bagi perempuan untuk berkiprah di tengah masyarakat, karena dengan begitu justru terjadi pengebirian potensi dan pembatasan perkembangan pada perempuan yang seharusnya bisa disinergikan menjadi salah satu muara penting pencerahan di tengah masyarakat untuk mencari solusi atas suatu permasalahan. Karena bagaimanapun perempuan berbeda dengan laki-laki baik dari fisik, sudut pandang, sifat dasar dan cara menyelesaikan masalah. Sehingga lahirlah kekuatan baru untuk menghadapi masalah tersebut.
Kekuatan itu bukan berasal dari pengorbanan dari salah satu pihak tetapi kemampuan memanage tantangan, dengan mengidentifikasikan kemampuan dan mengolah perbedaan dan meraciknya untuk saling melengkapi sehingga sampai pada kesimpulan prinsip "win-win solution” dalam menghadapi suatu masalah dalam hidup dan kehidupan sosial maupun rumah tangga.
Seperti pada akhir cerita dalam novel ini, seakan-akan semua dimulai lagi dari awal. Memulai kedewasaan lagi, memulai berkomunikasi dan mulai saling menyeimbangkan diri.