Senin, 04 Agustus 2008

Kebudayaan Indonesia antara Identitas dan Pandangan Hidup

Apakah ada kebudayaan yang dapat tumbuh

dan dapat memelihara dirinya sendiri tanpa dasar agama?(T.S Elliot)

Klise, dan rumit ketika kita berusaha merunut, mana dan yang seperti apakah kebudayaan yang benar-benar Indonesia. Seperti kita ketahui dan dari berbagai bukti sejarah menyatakan bahwa ‘bangsa’ Indonesia tidak pernah lepas dari ketidak-Indonesiaannya. Misalnya, jika hasil dari kebudayaan Indonesia adalah Tari Legong ( yang dikenal melalui suksesnya pencitraan pariwisata di Bali), lalu bagaimana dengan tari Jaipong, tari Bedayan dan lain-lain. kemudian ketika kita teringat suatu pernyataan yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang lemah-lembut, sopan santun, ramah, dll. Apakah hal itu bisa mewakili bangsa Indonesia seluruhnya?

Dari sistem religi pun, pengertian, simbol dan makna yang ada dalam setiap bagian dari masyarakatpun sangat berbeda, lalu bagaimana dengan pandangan hidupnya?

Menurut M Habib Mustopo, pandangan hidup dapat diklasifikasikan berdasarkan asal- usulnya:

1. pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup yang mutlak kebenarannya

2. pandangan hidup yang berupa idiologi yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat pada negara tersebut,

3. pandangan hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya.

Kemudian ada tahapan poses yang dilalui sebagai aktifitas dalam berpandangan hidup yaitu mengenal, mengerti, menghayati, meyakini, mengabdi dan mengamankan.

Masih hangat setiap konflik yang mengiringi proses perjalanan bangsa Indonesia, baik proses internal atau eksternal, politik atau budaya, ekonomi dan sosial. Dari yang penting, tidak terlalu penting, atau yang (sebenarnya) tidak penting sama sekali.

Misalnya saja pandangan hidup yang berasal dari agama, ada suatu realitas, fenomena yang masih menjadi perbincangan hangat yaitu pandangan hidup sebagian masyarakat Islam di Indonesia tentang jilbab. Bagi sebagian orang ada yang berpandangan (berdasarkan agama) perempuan menutup tubuh, kecuali muka dan telapak tangan adalah wajib. Hal ini jika dilihat dari keimanan akan adanya kebenaran aturan yang diturunkan dari Penciptanya. Apabila dilihat dari segi ‘manusiawi’ hal ini beralasan karena melihat kecenderungan ‘sesuatu’ yang bernama manusia. Yang mempunyai rasa, naluri dan yang teristimewa adalah akal. Apabila dilihat dari budaya, ada sebagian yang mengatakan bahwa jilbab adalah suatu hasil kebudayaan bangsa Arab, bukan aturan dari Islam, karena melihat lokalitas atau keadaan alam di Arab, sedangkan ada berbagai bukti sejarah baik itu berasal dari perkataan Muhammad (yang diimani umat Islam sebagai Rasul) dan orang –orang ‘seangkatannya’ bahwa perempuan bangsa Arab tidak memakai pakaian seperti yang sekarang dikenal dengan jilbab. Kenapa?

Turunnya perkataan Muhammad yang disampaikan pada Asma bahwa perempuan hendaknya menutupi tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Dijelaskan pada saat itu Asma mengenakan pakaian yang tipis dan tembus pandang. Dan saat itu juga diriwayatkan semua perempuan langsung menarik kain yang ada di dekatnya untuk membalut tubuhnya, jika sudah berjilbab kenapa masih harus ditutupi? Juga ketika jaman sebelum turun ‘perintah’ ini perempuan arab beribadah di Ka’bah dengan telanjang. Sehingga bagi sebagian masyarakat indonesia yang telah meyakini ini adalah kebenaran, maka mereka merasa berkewajiban untuk mengamankan. Walaupun secara objektif proses ‘pengamanan’ ini kadang juga ‘menghianati’ peraturan Islam yang lainnya, yaitu untuk berlemah lembut, menyampaikan dengan baik tanpa merusak tapi tetap dengan kehormatan. Bukankah tidak ada paksaan, tetapi juga harus saling menghargai.

Kemudian yang kedua, pandangan hidup yang berasal dari Idiologi, tentu dapat dengan mudah menyebutkan perumpamaannya. Pancasila. Idiologi yang menjadi dasar di negara Indonesia. Idiologi ini cenderung bisa diteima oleh sebagian besar bangsa Indonesia, karena yang tercakup didalamnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Seperti halnya perjalanan semua idiologi, Pancasila juga bisa lebih ‘disempurnakan’, bukan akar fundamennya, tetapi secara teknis dan hal-hal yang menjadi cabang yang belum diatur secara lebih jelas. Otomatis, pandangan hidup ini juga ada pendukungnya yang rela untuk mempertahankan/mengamankannya.

Yang ketiga adalah pandangan hidup yang masih relatif kebenarannya. Misalnya yang juga yang sedang in dalam pewacanaan di media massa, yaitu carok di Madura. Antara rasa kemanusiaan dan harga diri (yang juga manusiawi). Hal ini sangat relatif. Carok adalah suatu simbol yang sarat makna bagi masyarakat pelakunya, tetapi sangat tidak beradab dan mengerikan bagi masyarakat yang lain. hal ini tidak hanya dialami di Madura tetapi juga suku Dayak.

Sedangkan menurut Iqbal, seorang pemikir yang memiliki latar belakang yang kuat antara Islam-Timur dan barat-Modern, ada sebuah pergerakan kebudayaan yang telah mengubah secara lengkap dan permanen seluruh pola kehidupan sebuah kelompok besar umat manusia dan sangat jarang dalam sejarah umat manusia seseorang diberi identitas dan jalan hidup yang sama sekali baru. Yang memberikan pendekatan pada kehidupan yang fungsional dan realistis. Iqbal menyerahkannya pada kekuatan kebudayaan Islam yang dalam bergerak ke depan seiring dengan persaudaraan universal. Kebudayaan Islam memberikan cara kehidupan yang lengkap. Karena lingkup kebudayaan sangat luas sehingga meliputi efek pada semua ekspresi dan aktifitas manusia.

Kalau menurut saya, kebudayaan adalah suatu hasil dari proses dialektika internal manusia atas suatu realitas/fenomena meliputi rasa dalam raga yang ditangkap panca indera, naluri yang menangkap suatu imaji/ bayangan, ide yang selalu berputar dan bergejolak di ruang pikir, jiwa yang selalu bertanya dan mencari jawab atas suatu kebenaran, keimanan yang menjadi sumber kekuatan dan keyakinan akan ‘sesuatu’ atau sebuah aturan yang telah ada dan kemudian ‘dilempar’ keluar kembali untuk menghadapi realitas dan dialektika dalam individu manusia lain, lingkungan alam, sehingga muncul suatu kesepakatan bersama (suatu tatanan) dan dilaksanakan bersama. Kemudian-- muncullah harmonisasi kehidupan yang indah. Ada kerja keras, tapi juga ‘kepasrahan’, adanya pemikiran dan keimanan, ada jiwa dan raga, ada manusiawi dan ilahiah, ada yang nyata dan belum nyata, ada nilai sosial dan ekonomis, dan lainnya. Yang bersinergi secara manis.

Keadaan yang seimbang, kehidupan yang seimbang, itu adalah cita-cita yang baik menurut pandangan hidup saya. Sekali lagi ini adalah suatu pandangan hidup yang bisa jadi tidak bisa merepresentasikan keseluruhan pandangan hidup bangsa Indonesia. Tetapi (mungkin) bisa menjadi suatu pandangan hidup yang dominan ( atau menghegemoni ?) sebagian bangsa Indonesia. Egois memang. Mungkin ? semoga !

Tidak ada komentar: