Kamis, 31 Juli 2008

ramuan ajaib

ramuan ajaib....
perasan dari dua buah jeruk
tiga sendok teh madu
air hangat
2 butir gula batu
ditambah harapan
dan cinta (kalo ibu yang bikinkan... pasti lebih mantep)

wihh.... keren.

Rabu, 30 Juli 2008

mimpi

semua tentang mimpi
abstrak
ngga jelas
juga tentang kepribadian
apa aku yang kurang paham
padahal beberapa waktu lagi
kalau ngga....
wah....
gawat!

Sabtu, 26 Juli 2008

Menunggu Kesadaran Imajinasi


Menunggu Kesadaran Imajinasi


Novel Menunggu Matahari di Melbourne adalah novel karya Remy Sylado yang berbeda dengan novel-novelnya yang sebelumnya. Jika sebelumnya dalam Kembang Jepun, Parisjs van Java, Kerudung Merah Kirmizi dan Ca Bau Kan adalah novel yang digarap dengan penuh ‘kedewasaan’ seorang pengarang, serta kuat muatan sosial dan kesejarahannya. Maka novel ini terkesan ‘anak muda’ yang ‘seenaknya saja’.

Karya-karya Remy Sylado adalah karya yang sarat makna, model penceritaan yang luar biasa dan alur cerita yang fantastik membuat saya selalu tertarik untuk mendapatkannya.

Dari covernya (yang ketika saya mengambil buku ini ‘belum bisa percaya’ bahwa ini adalah karya Remy Sylado) dapat kita lihat seperti model-model cover cerita remaja, chicklit atau cerita-cerita ‘ringan’ lainnya. Pada penulisan judul seperti tidak ada konsistensi penulisan (dari gaya hurufnya). Kemudian ada latar kota besar dengan gedung yang menjulang. Dan dua anak manusia yang berpunggungan. Yang lelaki berkulit keling, gondrong, wajah ‘khas Indonesia, bertindik dibawah bibir berkaus oblong hijau dan berjeans. Kemudian yang perempuan berambut pirang, kulit lebih cerah, berkaus you can see yang menutup sebagian perutnya sehingga terlihatlah tindik di bawah pusarnya. Kesan yang ‘main-main’ untuk novel karya Remy Sylado yang sudah terframe ‘serius dan filosofis’ dalam pikiran saya.

Ternyata pikiran saya tidak salah, novel ini memang serius dalam mengangkat permasalahan sosial, politik, moral, ekonomi, pertahanan, bahasa apalagi kebudayaan. Dan sangat filosofis dalam menganalogikan suatu permasalahan dengan simbol-simbol yang tepat. Walaupun diangkat dengan menggunakan bahasa yang ‘terserah saya’. Padu-padan kata yang enak jika diucapkan

Mary Jane Storm orang Australia

Joko Trianto orang Indonesia

Untuk alasan yang barangkali emosional, pekan lalu Mary Jane Storm ke Denpasar.

Untuk alasan yang barangkali rasional, hari ini Joko trianto ke Melbourne(hal 3)

Setelah semakin jauh membaca, ternyata tokoh di cover tadi teridentifikasi sebagai tokoh utama, yaitu Mary Jane Storm dan Joko Trianto. Dengan ciri fisik dan penampilan yang sama. Ciri fisik dan penampilan kedua tokoh ini juga merupakan representasi dari ‘budaya anak muda sekarang’ yang bebas, santai dan terkesan ‘mbarat’. Fenomena pergeseran, atau pengaruh kebudayaan ini sempat menjadi perbincangan menarik. Atau mungkin dengan atribut tokohnya tersebut adalah suatu simbol identifikasi ‘kaum’ tertentu dengan ‘orientasi’ tertentu.


Apa boleh buat, berpakaian dalam tatanan global saat ini memang bisa menjadi rangsangan kenyataan akan keikutsertaan seseorang terhadap tren mode yang ditawarkan pasar, artinya bagian dari politik dagang, tapi bisa juga merupakan ekspresi sosial menyangkut kebebasan jiwa orang itu secara pribadi diantara orang banyak.

Jadi, kayaknya tidak usah terganggu melihat mode orang-orang muda. Setiap zaman ada saja mode orang-orang muda yang neko-neko dan menyepatkan mata orang –orang tua. Tapi, orang-orang yang kini tuapun dulu pernah muda juga dan menjengkelkan mami-papinya. (hal 7)


Sekilas novel ini seperti kisah cinta biasa, cerita picisan yang mengangkat kisah tentang perkenalan anak muda di bandara yang berlanjut dengan cerita asmara yang berakhir dengan bahagia. Tetapi dibalik ‘kesederhanaan’ jalan ceritanya, novel ini sarat kritik sosial tentang kemunafikan para pelaku kehidupan, korupsi dari berbagai bidang sampai korupsi waktu, gaya hidup kota besar dan kebebasan pergaulan yang ‘katanya’ merupakan hak asasi yang dijamin oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.

Yang menarik, dalam novel ini ada tokoh-tokoh khayalan yang ‘manusiawi’ tetapi mereka bukan manusia, melainkan ‘malaikat penjaga manusia’. Kedua ‘tokoh utama’ dari bangsa malaikat dengan menarik membungkus kritik-kritik atas segala perilaku manusia yang ‘mungkin’ semakin membuat jengah.

Mengejutkan. Di akhir kisah, tetap dengan bahasa yang sarat makna dan simbol, Remy Sylado memaparkan perjalanan kisah cinta antara Mary Jane Storm dan Joko Trianto. Agak malu sebenarnya saya membaca ini (saya membayangkan jika kedua malaikat di novel ini benar-benar ada dan ada disamping saya, maka ‘mungkin’ dia akan berteriak atau dengan takut-takut bergumam bahwa saya munafik). Tapi memang saya tidak bisa menikmati akhir cerita ini dengan konsentrasi penuh tanpa meloncati bagian-bagian cerita. Karena di akhir cerita ada ‘proses menuju hubungan yang lebih lanjut’ diantara keduanya. Dengan sisipan potongan cerita Kamasutra dari India, dengan triwikrama, uthitta asana, solacitakam, bhuganakam, dan upavistha shoolachitikam dan gaya Perancis; ne me chiffon pas, la chandelle, le bidet, dan une bonne position, dengan dengan dengan deskripsi yang mendetail.

Pada bagian ini saya cuma berfikir bagaimana kalo anak-anak remaja yang penuh tanda tanya dan penasaran membaca karya ini. Apakah berefek? Atau anak-anak kecil yang masih ‘polos’. Di akhir cerita saja.

Bukan berarti karya-karya ‘semacam ini’ tidak layak hadir dan harus diberangus begitu saja. Namun harus adanya keseimbangan, jika tidak bisa dikatakan sebgai pembatasan. Tidak adanya sekat secara teknis dalam penglasifikasian letak pada pemasaan karya tersebut misalnya. Atau mungkin kedewasaan dan pendewasaan dalam memilih bahan bacaan untuk diri sendiri.

Karya sastra merupakan salah satu media untuk transformasi nilai dan pembentukan pola pikir. Andai saja remaja kita, anak-anak kita telah dicekoki dengan konsumsi ‘produk intelektual’ yang belum waktunya mereka telan, apakah akan ada proses yang matang dalam psikis, mental, bahkan fisik mereka.

Menunggu kesadaran imajinasi. Memang benar, Ayu Utami pernah mengatakan dalam suatu diskusi tentang media, imajinasi adalah ranah yang benar-benar privat dalam kehidupan manusia. Terserah individu tersebut mau mengarahkan dan mengeksplorasi imajinasinya kemanapun, mungkin tanpa batas. Namun menurut saya akan berbeda jika kemudian imajinasi tersebut dikonkkritkan, ‘dieksploitasi’, dituang dalam karya, dibaca individu lain. Dinikmati. Ada tanggung jawab yang seharusnya juga dipikirkan oleh ‘pemilik imajinasi’ dan ‘penghadir imajinasi’ tersebut untuk mengawal, seitdaknya mempertimbangkan bagaimana jika karya ini—hasil dari imajinasi—jika dilempar ke masyarakat. Siapa yang layak mengonsumsi, atau dampaknya pada kepala-kepala lain yang mungkin juga memiliki imajinasi yang tak terbatas.


Eksotisme dan Erotisme dalam Ironi




Eksotisme dan Erotisme dalam Ironi


Ide cerita yang cerdas dan penggambaran dengan kalimat yang indah selalu menyertai karya Agus Noor. Kali ini dengan kumpulan cerpennya yang tergabung dalam sebuah buku bertajuk RENDESVOUS Kisah Cinta Yang Tak Setia, Agus Noor tetap menyajikan suatu keindahan. Ada kalanya dalam karya-karyanya terjalin untaian kalimat yang indah dan enak didengar. Rangkaian kalimat yang eksotis. Dengan permainan kata-katanya yang lihai membungkus kekerasan (kesadisan) yang bisa dikatakan sebagai salah satu ciri khas karya Agus Noor. Selain itu harmonisasi rima juga kerap kita temukan. Misalnya saja pada cerpen Kupu-kupu seribu peluru:

Terkutuklah perempuan itu! dia najis, karena membiarkan puting susunya yang garing dihisap penemis-pengemis kudis. Dia iblis karena dengan lidahnya mau menjilati borok di sekitar selangkangan pelacur yang terkena sipilis, .... dia sundal karena bersenggama denag ratusan begundal...

Tidak hanya pada cuplikan cerpen tersebut, tetapi juga pada cerpen yang pertama, Indsendstez. “Maya telanjang, telentang di ranjang”

Sekilas, ketika kalimat-kalimat dalam cerpen itu dibaca—belum sampai pada pemahaman pada makna dan nilai rasa—apabila membaca dengan menyuarakan semakin cepat seperti sebuah puisi atau bisa sebagai mantra karena harmonisnya susunan kata tersebut.

Mungkin itulah salah satu sisi yang bisa kita lihat sebagai unsur keindahan karya Agus Noor.

Mengenai ide cerita dan topik bahasan yang ada dalam karya Agus Noor juga merupakan keindahan tersendiri, walau kadang—secara pribadi—membuat saya bergidik membacanya. Tentang sesuatu, yang dalam ini saya sebut sebagai kekerasan/ sadisme, sesuatu prilaku atau kejadian yang absurd. Misalnya tetap pada cerpen Kupu-kupu seribu peluru. Bagimana tentang penggambaran pencungkilan kedua bola mata. Atau dalam Mawar di Kening Aida. Tetapi tetap dengan keindahan bahasa yang digunakan. Dalam hal ini juga mengakrabi kematian. Sesuatu yang telah sekian lama menjadi rahasia besar, yang menyimpan misteri. Kita diajak untuk menikmati perjalanan dengan panorama kematian, dengan daging dan darah, dengan segala luka yang yang ada. kita dihadapkan pada kematian yang lumrah, apa adanya.

Satu hal lagi yang membuat saya bergidik, yaitu erotisme dalam sebuah cerita. Dalam Indsendstez. Kita disuguhi sebuah cerita tentang kehidupan biologis dua anak manusia yaitu seksualitas. Dengan apa adanya pengarang melukiskan tiap bagian cerita dengan relatif detail. Ini yang saya sebut sebagai erotisme. Bagaimana tidak, ketika membuka buku beranjak pada cerpen pertama pembaca sudah ‘dihadapkan’ pada visualisasi seksual. Dimulai dengan kalimat : Maya telanjang, telentang di ranjang. Dari kalimat ini muncullah suatu gambaran imajinasi pembaca secara sekilas tentang seorang perempuan bernama Maya yang telanjang yang sedang terlantang di atas sebuah ranjang. Ada interpretasi seksual yang sudah didapat walaupun cerita belum usai dibaca. Akan tetapi ketika ‘bagian-bagian tertentu tersebut’ dalam cerpen ini dihilangkan atau sedikit saja dikurang bisa mempengaruhi keseluruhan isi dari cerita. Hal ini nampak sekali pada cerpen Kota Kelamin. Bisa dibayangkan, apakah yang terjadi ketika ‘adegan-adegan yang membuat bergidik’ dihilangkan, mungkin tidak akan ada cerpen ini. karena bisa jadi ketika hal ini dilakukan akan sangat mengurangi estetika dan esensi dari cerita ini sendiri. Cerpen ini akan kehilangan napasnya, kehilangan esensinya, atau bahkan tidak akan terbentuk suatu cerita yan hidup apabial ini dilakukan. Karena (menurut saya) esensi dari cerpen ini adalah ya itu erotisme itu sendiri. Dan seksualitas.

Yang menarik, Ironis jalan ceritanya dan ironis dampaknya. Dalam setiap karya Agus Noor dalam kumpulan ini selalu mengandung ironi. Dalam cerpen pertama menceritakan kehidupan seksual tokoh, yang ternyata lebih bersemangat jika bercinta dengan kekasihnya yang seorang waria, daripada dengan istrinya, juga tentang hubungannya dengan anaknya dan masalah psikologis si tokoh. Kemudian dalam ceita Kupu-kupu seribu peluru. Menceritakan kisah hidup seorang perempuan ‘yang malang’, Mawar di Kening Aida, sepotong bibir di jalan raya. Hampir selalu tidak pernah cerita-ceritanya happy ending. Semua mengandung ironi- ironi kehidupan. Walalaupun ketila kita melihat dari sisi lain ada suatu sindiran yang nylekit tentang masalah-masalah sosial. Tentang kepekaan, tentang keadilan, tentang kemanusiaan manusia itu sendiri.

Ironi dalam dampaknya. Bagaimana misalnya seorang anak berumur sekitar enam atau delapan tahun—yang memang harus diperkenalkan dengan karya sastra—membaca karya ini. apakah dia akan ‘biasa saja menelan erotisme dan sadisme dalam cerita tanpa ada dialektika pada dirinya sendiri atau disampaikan pada orang lain? menurut saya tak ada ubahnya ketika anak-anak disuguhi tontonan smack Down yang sekarang surut di televisi. Ketika disuguhkan pada kekerasan, bisa saja—untuk pembelaan—itu bisa saja disejajarkan dengan pencaksilat. Lalu begaimana dengan ‘intermezo’ sebelum bertanding yang berisi tantangan yang berisi umpatan, makian yang menurut saya sangat tidak bagus untuk perkembangan mereka.

Ironis jika melihat pada perkembangan ‘dunia kriminal’ saat ini yang semakin meningkat. Kekerasan demi kekerasan yang menelan banyak korban hingga meninggal menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah terjadi. Siapapun yang melakukannya. Jika beberapa saat yang lalu kita dikegetkan dengan terbunuhnya seorang anak yang ternyata ada di tangan teman sepermainannya. Lalu para perempuan remaja yang tergabung dalam geng Nero di Pati yang seakan-akan tidak pernah merasa bersalah. Hingga akhir-akhir ini kasus mutilasi empat orang lelaki oleh seorang pemuda pendiam dari Jombang. Saya tidak yakin bahwa sastra dan karyanya mempunyai kontribusi yang besar disini. Tetapi setidaknya dia memiliki andil untuk menciptakan dunia. Walau mungkin terbatas pada imaji.

‘Maskulinitas’ Tokoh Perempuan ‘Feminis’


‘Maskulinitas’ Tokoh Perempuan ‘Feminis’

Novel Geni Jora hadir, ketika masyarakat kita ramai membahas perempuan pengarang dan karya-karya yang ‘beraroma’ perempuan. Mengusung kesejajaran dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Berbagai karya lahir dan kemudian menjadi bahan diskusi—kebanyakan untuk mendukung gerakan ‘keperempuanan’. Mulai dari Saman-Larung yang lahir dari kreatifitas Ayu Utami, rangkaian Supernova dari Dee, Jangan Main-main Dengan Kelaminmu oleh Djenar Mahesa Ayu.
Rangkaian karya sastra yang ditulis oleh perempuan dan berisi tentang perempuan membuat suatu pemahaman bersama bahwa karya-karya tersebut hadir untuk memperjuangkan feminisme dan feminitas.
Jika kita memperhatikan pengertian feminisme secara umum yang berarti pergerakan perempuan ataupun laki-laki untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan pada tataran sosial. Atau perjuangan untuk menolak sesuatu yang dianggap sebagai marginalisasi terhadap perempuan, perempuan sebagai subordinat dan direndahkan oleh dominasi laki-laki baik dalam pendidikan, hukum, politik, ekonomi maupun rumah tangga.
Konstruksi tentang perempuan yang melekat selama ini adalah tentang perempuan sebagai tong sampah dari kekalahan, ketertindasan, kelemahan, kebodohan, ketidakberdayaan. Tipis sekali perbedaannya dengan sifat dasar perempuan yang lembut tetapi lebih tegar, ngemong, lebih menggunakan perasaan, lebih bisa menahan emosi. Serta berbagai sifat dasar perempuan yang lain.
Kejora, tokoh utama dalam novel ini tumbuh dalam lingkungan keluarga yang islami. Ia lahir dari seorang ayah yang tunduk patuh pada ajaran-ajaran Islam. Kakak perempuannya bernama Bianglala atau lebih sering dipanggil dengan Lola. Lola adalah seorang gadis yang cantik dan sangat pendiam, berkebalikan dengan Jora, tetapi mereka berdua sangat dekat.
“ Lola memang kakakku yang baik. Penuh perhatian. Antara kami seperti dua sisi mata uang. Kami selalu bersama, namun satu sama lain, seperti sisi mata uang, tak pernah mampu melihat kembarannya. (hal 212).
Dari sini bisa dilihat alangkah dekat hubungan mereka berdua tetapi dengan ciri khas masing-masing yang cenderung berkebalikan. Kejora dan Lola memiliki dua saudara laki-laki mereka bernama Samudra dan Prahara. Ibunya berstatus istri kedua, Ibu tirinya, istri pertama ayahnya, tinggal di dalam rumah yang sama. Kejora bersaudara tumbuh di dalam rumah besar dengan tiga dinding tinggi tebal mengurung mereka, hanya bagian pintu pagar saja yang agak terbuka memperlihatkan dunia luar. Rumahnya dengan rumah ibu tirinya, hanya dipisahkan oleh sebuah halaman seluas lapangan bulutangkis. Masa kecil kejora hanya dihabiskan di dalam rumah, dia hanya dibolehkan ke luar halaman untuk sekolah dan les bahasa Arab. Sementara, adik lelakinya, Prahara, boleh bermain sepuasnya di luar rumah dari pagi hingga petang.
Jora adalah gadis mandiri dengan cita-cita tinggi : mendobrak dominasi laki-laki. Ketka ia dan Lola menginjak remaja, mereka mulai naksir pemuda sebelah rumah. Setiap pagi, kedua gadis itu memanjat pohon yang banyak tumbuh di halaman rumah mereka, mengintip pemuda tetangga keturunan Arab bernama Ali Baidawi alias Alec Baldwin, jogging. Memanjat pohon dan mengintip Alec Baldwin adalah bentuk perlawanan terhadap perlakuan diskriminasi orang tua (ayah, ibu, paman dan nenek) mereka. Karena kebiasaan dalam rumahnya yang memberi ‘perlakuan istimewa’ pada anak perempuan. Karena rumah tangga orang tuanya benar-benar sebuah lembaga patriarkhi yang memberi tempat utama bagi lelaki. Sementara perempuan seperti dirinya, Lola, ibunya, dan ibu tirinya, hanya berada di urutan kedua. Walaupun ia jauh lebih cerdas dari adik lelakinya itu. Neneknya, adalah seorang yang sangat mendukung ‘gaya hidup’ di rumah tersebut karena ia telah lama hidup dan lama merasakan bagaimana berada di bawah dominasi para lelaki. Hal ini membuat Kejora tumbuh dengan sebuah "dendam" di hati. Dendam kepada penguasaan para lelaki. Jora ingin selalu lebih baik, atau lebih tinggi di antara para lelaki. Kejora menuntut ilmu di sebuah pesantren besar. Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin keras berdasarkan syariat Islam. Dan diajarkan pula ilmu pengetahuan umum lainnya. Dari sini, kelak diharapkan akan lahir perempuan-perempuan muslim cerdas dengan pengetahuan dan ilmu yang tak kalah hebat dibanding lulusan sekolah umum. Di sini Kejora cenderung berpikiran moderat. Sebagai gadis yang cerdas, tak jarang mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa tidak logis. Dia hadir dalam bentuk seorang gadis yang memberontak atas apa yang lama menjadi pertanyaan-pertanyaannya. Tetapi dia tidak sendirian. Banyak teman santri putri yang juga ‘memberontak’.ada saja santri-santri yang suka melanggar peraturan dan disiplin pesantren. Ada persaingan akademis yang berbuah kecemburuan, ada kelompok-kelompok pertemanan yang saling bermusuhan, sampai dengan lesbianisme. Yang merupakan pelanggaran yang sangat berat di pesantren ini. hal ini merupakan salah satu realita yang terjadi di pesantren. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa ‘rahasia-rahasia’ kehidupan pesantren terbuka disisni.
Dalam menuntut ilmu, Kejora melanjutkan sekolahnya ke Maroko. Hal ini mendongkrak kebiasaan di lingkungannya bahwa gerak perempuan dalam menuntut ilmu sangat terbatas dan dibawah laki-laki.
Tokoh digambarkan sebagai perempuan yang kuat, cerdas, dan mampunyai lebih energi, kekuatan, penuh dengan pemberontakan terhadap laki-laki. Ada semacam dendam Kejora pada laki-laki. Hal-hal yang dilakukan oleh laki-laki akan dilakukan juga oleh Jora atau perlakuan kekasihnya akan dia balas dengan hal yang sama atau bahkan lebih.
“Jika laki-laki pandai menipu, perempuan tak kalah lihainya dalam hal menipu. Jika laki-laki senang berburu, tak ada salahnya perempuan menyenangi hal yang sama.” (hal 9).
Jora juga merupakan produk keluarga feodal, berasal dari keluarga dengan budaya pesantren yang juga memandang tinggi laki-laki, dan memperlakukan anak laki-laki lebih istimewa dari perempuan. Begitu pula dengan keberadaan ibunya yang merupakan istri kedua dari seorang pengusaha dan pemuka agama. Dan posisi ibunya terkesan lemah terhadap dominasi laki-laki. Jora juga mengalami krisis ketika dihadapkan pada realitas keluarganya yang patriarki. Tetapi kemudian Jora melakukan pemberontakan, hal ini disampaikan melalui ucapannya terhadap sikap neneknya yang sangat patriarki
“Lihatlah, Nek! Kau telah gagal membentengi diriku. Tamengmu tameng semu. Terbukti cakrawalaku lebih menghampar dari halaman rumahmu. Langitku lebih lebar dari atap rumahmu. Pemandanganku lebih luas dari kisi-kisi jendela karatmu. Dari atas pendakianku, terlihat semua yang kau tutupi dan terbuka semua yang kau sembunyikan. Milikku adalah semesta penglihatanku dan milikmu, Nek, sebatas tempurung buntu. Kaulah "katak dalam tempurung" sang waktu”. (hal. 77)
Mengapa feminitas seakan tidak mendapat porsi dalam kepribadian kejora yang lincah dan cerdas. Yang ada adalah sikap-sikap Jora yang lebih mendekat pada sifat yang dimiliki lelaki. Sehingga ada suatu pesan yang ditangkap bahwa Jora tetaplah obyek, bukan subyek. Keberadaan Kejora bukanlah senter yang mempunyai pengaruh terhadap pandangan di sekitarnya. Sehingga inti kekuatan perempuan yaitu pada kelembutannya yang mempunyai pengaruh pada lingkkungan sekitarnya lesap. Bukan pengakuan atas kedirian yang perempuan dengan berbagai sifat dasarnya. Yang sepertinya malu mengatakan,”Ya saya perempuan dengan keperempuanan saya.”
Seakan-akan Jora adalah korban lelaki, korban sudut pandang lelaki. Karena pandangan, anggapan, sudut pandang penilaian yang digunakannya adalah sudut pandang laki-laki. Dimana persaingan adalah lumrah. Eksistensinya adalah pemberontakan, dunianya adalah kekuatan fisik, rasionalitas yang berlebih, atau ketidakpedulian terhadap orang lain lebih identik dengan maskulinitas, bukan feminitas. Padahal perjuangan hak-hak perempuan juga melipiti perjuangan identitas alami perempuan bukan peniruan atas kelaki-lakian. Akan tetapi ada suatu fenomena yang terjadi bahwa perjuangan perempuan terhadap laki-laki adalah perjuangan posisi, kekuasaan dan pengaruh. Bukan pembagian kerja yang bisa disinergikan dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Parameter kemerdekaan, keberadaan perempuan adalah ketika perempuan lebih unggul dari laki-laki. Perempuan bisa melakukan apa yang laki-laki bisa. Sehingga ada semacam dendam atas suatu persaingan antara laki-laki dan perempuan. Bisa jadi hal ini merupakan pembuktian bahwa lelaki tetap eksis karena dunia dipandang dari sudut pandangnya. Misalnya dibalik, semua menggunakan sudut pandang perempuan apakah lelaki bisa memahami dan melakukannya. Misalnya dengan kelembutan dan perasaan perempuan ketika memandang suatu masalah apakah lelaki akan mau dan mampu, demi kesetaraannya dengan perempuan. Sehingga dominasi laki-laki tetap ada pada dunia luas karena kaum perempuan yang ingin memperjuangkan perempuanpun ikut ’mengampanyekan’ maskulinitas.
produk feodal identik dengan dominasi laki-laki sebagai penguasa. Akan tetapi realitasnya, banyak lelaki penganut petriarki, yang tumbuh di ‘kawasan patriarki’ yang menganggap perempuan adalah second sex tunduk dibawah bayang-bayang perempuan yang justru tetap mempertahankan identitasnya sebagai perempuan. Yang sekali lagi, identik dengan kelembutan. Hal ini secara tidak langsung terdapat dalam novel ini pula. Bagaimana kejora yang ‘maskulin’ tetap kagum pada Elya yang lebih ‘feminin’ atau Zakky, kekasih Kejora yang sempat terpana dengan kehalusan Bianglala. Kekaguman atas kelembutan tidak tiba-tiba menghilang dari karya yang juga ditulis oleh seorang perempuan ini.
Satu lagi, ada kesan ‘mamaksakan diri’ pada tokoh Kejora. Dia menjadikan dirinya sebagai pusat dimanapun dia berada, suatu kebutuhan psikologis yang akhirnya seperti membawa beban pada kejora untuk memenuhi tuntutannya untuk mencapai kepuasan yang ‘kadang seperti’ melelahkan dirinya sendiri. Kebebasan yang terkesan tragis.
“ Aku tertawa-tawa. Dalam badai topan saat semua orang terburu-buru menutup jendela....”
menggambarkan bahwa Kejora sibuk dengan perasaannya dan anggapannya terhadap ‘kemenangan’ dirinya sendiri yang mungkin tak disadarinya.
Kemudian sikap dan sifat Jora langsung terpatahkan sendiri oleh pendapatnya, ketegarannya seakan terhapus, perlawanannya sirna dengan sendirinya, karena Kejora masih tetap ‘berperasaan’
“ aku membenarkan pikiran Lola. Dan Zakky terlihat puas atas pendapat Lola yang terasa lebih adil. Barangkali juga, aku harus mulai merefleksikan diri, tidak mengalamatkan semua yang negatif semata pada Zakky. Tidak bisa terus menerus menutupi kelemahan dan kesalahan dengan apologi. Tuhanpun tidak menganugerahi kecerdasan untuk lokasi persembunyian dari kekurangan dan alibi. Apakah aku terlalu berprasangka buruk pada laki-laki? Sementara, tidak setiap laki-laki Paman Hasan atau Paman Khalil. Tidak setiap laki-laki adalah Prahara. Dan tidak semua perempuan adalah makhlik yang digambarkan oleh pikiran nenekku yang terlampau uzur untuk sebuah pemikiran baru”
Novel Geni Jora ini sarat dengan gugatan seorang perempuan Islam terhadap persoalan gender. Pendidikan yang dirasa amat diskriminatif bagi perempuan, dominasi laki-laki, poligami, lesbianisme, kekerasan dalam rumah tangga serta seksualitas. Bentuk perlawanan itu tampil dalam sosok seorang ‘feminis islam’, seperti dalam novel-novel Abidah El Khalieqy sebelumnya, salah satunya adalah perempuan Barkalung surban. Dalam penyampaiannya dan keterusterangan dari pesan bahwa perempuanpun berhak atas kebahagiaannya serta boleh berinisiatif dalam, ataupun menolak, segala hal, termasuk urusan cinta. Penulis menggunakan kata yang sangat indah dan berkias.
Tidak hanya tentang kesetaraan perempuan, penulis juga menyampaikan kritiknya terhadap mereka yang mengaku Islam namun sikap dan perbuatannya amat jauh dari nilai-nilai Islami. Ajaran-ajaran Islam sering disalahgunakan justru sebagai tameng dan pembenaran bagi tingkah laku menyimpang yang seringkali berakibat ketidakadilan bagi perempuan. Melalui tokohnya, penulis merindukan dunia yang mengakui kesejajaran hakiki antara pria dan wanita. Ketidaksesuaian perilaku dan konsep keislaman yang dipahami oleh lingkungannya yang berlatar belakang lingkungan sosial Arab—yang identik dengan Islam disampaikan disini. Misalnya tentang perilaku bebas Zakky yang ‘kebetulan’ keturunan arab dan dalam kegiatannya ia sempat menjabat sebagai ketua komunitas kajian Islam dan sempat berceramah di berbagai tempat.
Tentang dunia Islam dan kesejarahannya juga tersampaikan, misalnya tentang konflik di Palestina, kayahudian dan perjalanan wacana-wacana keislaman yang disampaikan melalui perjalanan Jora dalam mengunjungi seminar-seminar. Juga tentang pandangan dan hasil pemikiran tokoh feminis, Fatima Mernisi yang juga merupakan pesan yang disampaikan secara tidak langsung.
Dari segi struktur, novel ini mempunyai pilihan kata yang indah. Melalui kiasan dan gambaran setting yang indah. Sehingga pembaca bisa ikut merasakan warna lokal yang menjadi tempat terjadinya peristiwa. Dan dari struktur bahasa bisa dilihat bahwa novel ini terpengaruh dari novel-novel timur tengah. Dalam novel ini juga menggunakan bahasa Arab, syair-syair arab dan sebutan yang biasa digunakan dalam komunitas arab. Satu hal lagi, dalam novel ini juga disampaikan proses percintaan Zakky dan Jora yang vulgar, terus terang tanpa menggunakan kiasan.

Karya Sastra, haruskah menggunakan bahasa yang ‘berat’?

Karya Sastra, haruskah menggunakan bahasa yang ‘berat’?


Sekilas, apa yang ada dalam pikiran kita ketika ada kata ‘sastra’ yang mampir di sana. Mungkin yang terbayang adalah rangkaian kata-kata yang rumit. Pemikiran filosofis atau tumpukan buku tebal.

Tak dapat dipungkiri memang bahwa hal tersebut tidak dapat disalahkan. Sastra tidak lepas dari metafora. Kualitas karya sastra yang tinggi adalah ketika jarak antara realitas dan imaji semakin jauh. Atau rangkaian kata yang menyambung yang menciptakan suatu nilai rasa tertentu. Semakin rumit kiasan atau simbolisasi dalam karya, maka semakin indah pula karya tersebut. Misalnya saja sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri dengan perpaduan rimanya yang jika dipadu dengan irama akan menjadi seperti pembacaan mantra yang indah.

Namun bukan berarti karya yang ‘lugas’ nilainya lebih rendah dari karya yang ‘rumit’ tersebut.

Merangkai kata adalah menangkap bayang-bayang yang berlarian di kepala. Meramunya dan menyajikannya sebagai rangkaian kata yang bermakna. Menurut saya, karya sastra adalah suatu media untuk menemukan ‘budhi’, keluhuran manusiawi. Apapun itu, bagaimanapun, jika karya tersebut menhentak kesadaran kita, menampar dari kekhilafan. Kemudian membawa kita menemukan kebijaksanaan, menjadi tahu diri. Itulah sastra. Gak perlu kata-kata yang ruwet, yang berat. Cukup ketika dia mengingatkan makna diri...

Lagi pula... apakah perlu pengakuan dan pengkotakan... bahwa yang hadir dalam kepala kita, yang kita tuangkan adalah karya sastra. Enggak tho...

Jadilah diri sendiri dalam berkarya.... perkaya referensi. Temukan ciri dalam tulisan kita. Intinya....yok terus belajar, karena tidak pernah ada ‘sempurna’.

Semangat berjuang...


Cah ndeso...

Cah ndeso...

Dulu, beberapa bulan yang lalu saya masih bangga dengan atribut ini.

Cah ndeso...

Dengan pengalamannya yang sekarang langka. Bercengkama dengan alam yang masih alami.

Mencari udang, ‘berdialog’ dengan kambing dan sapi. Menelusuri alur sungai sampai pada sumber yang masih murni

Mencari buah-buahan yang mungkin tak akan ditemui beberapa tahun lagi

Mendengarkan riang suara burung

Bukan dalam dongeng dan cerita saja.

Berkumpul dengan anak-anak sekampung sabtu malam atau waktu bulan purnama

Membuat sendiri mainannya, meriam dari batang bambu, perahu dari daunnya, ketapel dari kayu jambu

Rame-rame menabuh kentongan dengan obor di tangan saat ramadhan dan malam takbiran

Berbahagia dengan kesederhanaan. Dalam ‘keterbatasan’

Sekarang?

Bukan saya tidak sepakat dengan modernitas. Bukan saya tidak suka efektifitas atau kepraktisan

Saya Cuma rindu dengan tatapan mata yang penuh canda. Berbinar ceria

Lincahnya kaki kecil berlarian tanpa alas. Diantara semak dan debu alam

Kebersamaan, empati, ketulusan dan persahabatan yang seakan tidak bisa dipisahkan.

Sekarang kampung yang dulu semarak saat malam menjelang menjadi sunyi. Mereka berlarian dengan roda-roda bermesin ke arah kota. Berbelanja. Atau sekedar jalan-jalan menikmati lampu dan hiruk pikuk disana. Atau telah terlelap dalam buaian televisi

Anak-anak membicarakan games terbaru. DVD, miliknya asli atau bajakan. Bahkan tentang pacar (anak SD!)

Saya rindu dengan teriakan mereka saat berebut layang-layang putus—kini tanah lapang itu telah di kapling

Saya rindu dengan suara aduhan dari tubuh bedebam yang jatuh dari pohon mangga atau rambutan

Saya rindu denting kelereng, lagu jamuran yang kini jadi pertunjukan. Rindu dengan cerita seram di depan rumah.

Pohon melinjo berubah menjadi toko. Tanah lapang menjadi pasar. Ladang tebu menjelma gedung sekolah. Kebun dan sawah telah dibatasi dengan dinding yang tinggi.

Nggak ada lagi kesederhanaan. Semuanya beraroma persaingan.

Hanya satu ruang yang belum terjamah. Saat aku memandang keatas. Di luasnya langit yang menggelap. Ribuan cahaya yang mungkin dari ribuan tahun yang lalu.

Kanvasnya tetap bersih. Jernih. Belum terjamah polusi yang mengotori...

Namun apa artinya jika kesunyian itu tetap meraja.

Apakah mungkin anak-anak kita nanti hanya mengenal alam dari dunia virtual. Alam buatan. Atau mereka bermain di sana hanya dalam imajinasi dari buku-buku cerita.

Cah ndeso... kadang masih ada sedikit kebanggaan. Ketika anggapan dari modernitas dan mertopolitan yang diwacanakan rusak, identik dengan gaya hidup tidak sehat dan dunia yang gemerlap.



Cah ndeso yang merindukan ‘desa’nya

Berhentilah Sejenak !!


Berhentilah Sejenak !!

Ya! Cobalah berhenti sejenak dari kerumitan ‘dunia’ kita. Cobalah berhenti sejenak dan pandangilah diri kita dalam cermin jiwa. Lepaskan diri dari beban yang menumpuk. Sekejap saja.
Siapapun kita, cobalah berhenti sejenak. Lupakan segala beban yang ada di pikiran, lupakan segala kesenangan dan kegembiraan kita. Selami lebih dalam samudra jiwa kita.
Cobalah berhenti sejenak dan maknai “ Apa Sih Yang Kita Cari ??”
Apakah kesenangan dunia yang kini ada di depan mata?
Yang sedang kita nikmati ini?
Bisa kuliah, tidak kelaparan, pacar keren, mobil mentereng, atau...
Sebuah kegelisahan yang melulu berputar menjadi kumpulan sesak di dada
Sulur- sulur kegelisahan yang meruwetkan pikiran?
Atau kedamaian jiwa dan kejernihan pikiran yang telah kita temukan?
Apa sih yang kita cari ??
Berhentilah dan gali “ Untuk apa kita ‘diciptakan’ ?”
Apakah ‘hanya’ untuk sekolah dan kuliah?
‘ hanya’ sebagai seorang anak dari sepasang manusia saja?
ataukah hanya sebagai manusia pelengkap kehidupan ?
Asesoris dunia saja?
Sebagai pelengkap penderitaan hidup?
Ataukah kita hidup agar bisa bersenang – senang di dunia saja?
Berhentilah sejenak... dan pahami “ Dari Mana Sih Asal Kita? “
Dari desa-kah ? yang membuat kita (sedikit) minder (atau malah bangga) ?
Dari kota, dengan segala ‘kekerenannya’ ?
Dari rahim Ibu ?
Dari tanah ?
Atau jangan- jangan kita tak tahu, dari mana berasal ?
Berhentilah sejenak dan pikirkan... “ Kemana kita akan kembali - di mana kita akan berhenti?
Berhentikah kehidupan kita setelah lulus kuliah? Setelah bekerja?
Setelah menikah? Setelah... ?
Atau kita akan berhenti ketika kita mati?
Kembali pada tanah... kembali menjadi tanah ?
Bukankah Mati adalah suatu awal perjalanan baru yang panjang?
Apakah kita akan kembali kepada orang tua saja?
Kembali pada kekasih yang sangat kita cintai?
Kembali pada kenikmatan dunia?
Berhentilah sejenak, carilah jawab akan tanya itu
Berhentilah sejenak dan tanya pada jiwa kita,
Jiwa, jawablah dengan jujur, jawablah dalam jujur
Jangan berhenti bertanya, pada siapapun, pada apapun
Sekarang... silakan teruskan perjalanan hidup
Suatu saat.... berhentilah kembali!!

Kamis, 24 Juli 2008

capek...

liat tv kayaknya g nambah pinter2 deh
berita kekerasan di manamana
oleh suami2. lakilaki
kdrt makin rame lagi. musim lagi
tambah mutilasi
pas hari anak lagi
seharusnya....


baca koran juga
jadi semakin canggih n cerdas masalah kriminal...

ngomongin politik?

waahhh...
kemarin pagi saja pas belanja di ibu sayur....
orang orang pada bilang g mau nyoblos buat pilgub jatim

katanya sama saja
apalagi yang basisnya agama juga pecah belah
partai islam?? masa iya?
harga teri naik lagi...
oalah... cuma teri aja segini seribu duaratus?

ya g papa wis....
tapi 2009 pilih nomer 8 ya... kata saya
wah... bapa'e PBB, mase PAN lha iki nggawe partai dewe
lha iyo...
tapi dari dulu kok tetep ae. gak ganti? (bapakku sekarang golput)
ya g lah.... paling tidak masih ada yang baek kata saya



akhirnya....
jam 13 lewat...
saya juga ga nyoblos untuk pilgub :)




potongan2 kata....

Selasa, 22 Juli 2008

lelaki itu....(II)

dia kelas empat SD saat itu.

selalu bertanya, bagaimana belajar yang benar. saat dia tahu nilaiku selalu diatasnya

dia kelas empat waktu itu. saat mengingatkanku untuk kembali bersujud.lelaki yang selalu terjaga sebelum fajar tiba.membuka qur'an kesayangannya. dariku untuknya.hadiah untukku dari sebuah lomba

kuberikan padanya hanya karena aku jarang membukanya

dia kelas empat saat itu, ketika bertanya kepadaku, bagaimana meninggikan tubuh mungilnya

dia kelas empat saat itu,

saat malu-malu padaku menceritakan, ada dua teman perempuannya mengirimkan surat cinta padanya :D

dia beranjak dewasa.

kelas lima sudah mengatakan padaku, bahwa dia akan menjadi guru agama.

dengan kasih sayang bukan dengan cubitan. seperti yang dilakukan gurunya saat hafalannya kurang.

dia mulai dewasa,

dia mengatakan padaku bahwa dia nanti akan beristri perempuan berjilbab. ketika waktu iti perempuan berjilbab sangat langka

dia sering mengatakan bahwa telur dadar buatanku tidak ada yang menyamai lezatnya, walaupun aku seringkali keberatan untuk membuatkannya.

dia memintaku untuk memilih, aku tinggal di rumah atau dia yang tinggal di rumah, saat aku dan teman-teman lelakinya hendak berangkat ronda di terakhir ramadhannya.

dia yang bertanya padaku dengan polosnya "mbak, opo sih seng sampeyan golek'i". saat aku memilih pukulan gagang sapu saat aku bertahan dengan 'harga diriku' untuk tidak bersujud.

dia yang selalu membangunkanku untuk mengantarnya mengambil air wudhu saat fajar belumlah nampak. dan membaca qur'annya perlahan. dihadapanku. walaupun aku tahu dia tidak membutuhkanku untuk mengantarnya ke kamar mandi.

dia sainganku bermain layang-layang

dia membuatku iri dengan curahan kasih sayangnya pada orang-orang

dia membuatku marah saat orang lain lebih mencintainya daripada aku.

dia sahabatku saat kami bermain, memelihara suara jangkrik, menunggu kambing kami saat melahirkan, merawat burung-burung kecil yang kami beli dengan uang saku kami, mencari makanan untuk kambing-kambing kami. menyeret-nyeret batang-batang tebu dari ladang yang sedang panen. menguburkan kambing kami yang mati 'diracun' ular.

mengenalkanku pada sahabat-sahabat lelaki terbaiknya. mengajakku mengenal kembali semuanya.

dia memanggilku "mbelis", saat dia tahu yang membakar salah satu bagian tubuhnya saat menyusu dulu adalah aku. dia memanggilku begitu ketika dia 'bangga' akan 'kebaranian-keberanianku'

dia yang sering kubuat menangis

dia yang lebih dewasa. dia yang ingin memiliki kebun hijau yang berisi apel dan stroberi

dia kelas enam waktu itu.dengan aku yang semakin sibuk dengan duniaku, buku, musik dan teman-temanku.

dia kelas enam waktu itu, yang dari tatapan matanya aku tahu dia sangat merindukan 'kejahilanku'

dia kelas enam ketika meninggalkanku pada hari minggu, membawaku dalam pusaran hitam kekosongan. membuatku bertanya akan 'keadilan' TUhan. meninggalkanku tanpa sempat memberitahu bahwa aku sangat menyayanginya.

meninggalkanku saat aku akan memberinya 'sesuatu', mengajaknya ke tempat baru 'kebanggaanku'

dia eninggalkan kami dalam kekakuan dan jarak yang semakin melebar. meninggalkan kami dalam keputusasaan.

dia meninggalkan aku, dan membawa kesadaran padaku, bahwa nanti aku juga akan menyusulnya. mengalami kehidupan yang sementara. mempertanggungjawabkan segala yang telah aku lakukan.

dia mengajakku bersujud di malam ketika dia tidak ada lagi disisiku.

tanpa sempat mengatakan, dengan kesabarannya, ketulusannya, kepolosannya, kasih sayangnya, sifat selalu mengalahnya, rasa takutnya ketika menyakiti orang lain..... dia telah mempesonaku.

walau telah bertahun kepergiaanya. mungkin sekarang namanya wildan.

sedang menikmati kebun hijau apel dan stroberinya, tertawa-bersujud didalamnya.

dia mengingatkanku pada ajal,

dia mengingatkanku pada syurga,

dia yang mengingatkanku untuk mencintai bunda kami...

dia adikku yang meninggalkanku bersama kesadaran yang terkadang pahit.

dan saat ini... aku sangaaaaat merindukannya.

selalu.

.........

Rabu, 02 Nopember 2005

hanya kosong ketika seruan tak didengar
hanya kosong ketika hidup hanyalah impian
hanya kosong langkah tegap tak bertujuan
hanya kosong ketika senyum dan kebahagiaan adalah kenyataan

kosong...

tak bermakna...
ketika barisan kata
hanya menjadi iringankeranda kesadaran

kosong...
derap langkah tegap tanpa tujuan pasti hanya sebagai laskar cinta takbertuan

kosong...
ketika hanya ada jawaban tanpa pertanyaan
kosong... ketika jiwa tak sadar akan keberadaan dirinya.
hanya pengakuan atas 'eksistensi' terbahak dalam buaian semu 'ada'
sedang nurani bersenandung perih dan lirih...

AKUADALAHAKUKETIKAAKUBUKANLAHAKUADALAHAKUYANGAKU

kosong...
ketika jiwa berhenti bertanya...
siapa aku
sedang disana ada puisi indah seorang hamba...
kugadaikan seluruh jiwa dan ragaku
telah kugantung semua impianku...
hanya padamu Tuanku

LAAILAHAILALLOH...
KULHUWALLAHUAHAD

hanya untukMu
dan dia terus melangkah tenang dalam kebahagiaan
BUKAN KOSONG!!!

** saat gerimis menderas yang selalu lahirkan keluhan dari bibir manusia

oya... entah kenapa ya... kata ‘kosong’ itu indah rasanya. Mbois, keren, gimana gitu... mungkin ada yang bersepsi kalo ‘kosong’ disini inspired by omkara, ajaran zen atau gambaran Otsu di Musashi. Tapi menurutku... kosong itu ya ketika kesadaran datang. Tentang kemanusiaan manusia, tentang sifat dasar manusia... kesadaran yang muncul saat dia mulai sadar. Gitu nggak ya?

*** pernah dipublikasikan di klikjv.com

hujanku.....

hujanku lahirkan kupu-kupu

hujanku luruhkan ragu dan aku

hujanku birukan jiwaku yang kelabu

cemerlangkan jingga yang menemaniku

hujanku bukan sekedar tetesan air yang selalu mengundang keluh

kubangan busuk air yang menggenang, menggelegak

memuncrat pada wajah tanpa senyum tak tahu malu

hujanku...

*untuk hujan yang kian menderas.

nikmat yang dirasai keluh.

cinta yang terhalang untuk merasuk raga

stop

Stop, redam amarahmu

Namun jangan berlalu

Hentikan tangismu

lenyapkan ragumu

Yang salah lupakan

semuanya tlah termaafkan

Tataplah hari baru

Berlari bersamaku

Jangan menyerah kudisini

Genggam erat tanganku

Jangan sembunyi kudisini

Genggem erat jiwaku

Lihat wajahku lagi

Lihat wajahmu lagi

katakan cintamu

Dan untuk selamanya

Sherina: Kudisini

Pernah kehilangan sahabat? Pernah kehilangan ‘seseorang’, bukan raganya. Tapi ‘sesuatu’ yang mengikuti orang itu? Atau kehilangan jiwa kita. Saat rasa bersalah mendera…dalam diri…

Setidaknya senandungkan ini untuknya. Semoga dia kembali dengan ‘ke-dia-annya. Walaupun dalam hati. Walaupun hanya untuk diri sendiri.

Setidaknya pahami. Agar dia tahu bahwa dia masih bersama, tidak sendiri..

Agar dia katakan CINTAnya yang abadi…. Selamanya….

Dan pasti bukan hanya untuk kita

Tapi semua yang awalnya dari CINTA itu sendiri…. Bukan ‘cinta’, karena ‘cinta’ yang dapat membuatnya menyerah…sembunyi….tereduksi dan…. Plass….

sejuk yang selalu hadir didiriku
hanya bayangan yang ingin kuhadirkan
untuk meredam, bukan melawan
karena aku tahu aku hanya akan terpuruk
dan terus tenggelam dalam kegilaanku
dalam seluruh rasaku

hingga saatnya aku menyerah
dan mengatakan 'terserah'

Salahkah..

Merasakan menjadi anak-anak. Mengingat masa lalu, ketika berlarian di tanah lapang yang luas menaikkan layang-layang. Menyeret batang-batang tebu dari tegalan. Mengembala kambing, berebut susu dengan anak kambing. Berkotor-kotor pada lumpur di sawah, memanjati pepohonan mencari buah-buahan segar, membuat rumah diatas pohon, mendirikan tenda di ladang mangga, membakar ikan, singkong. Atau sekedar memancing dan berbasah-basahan di sungai. Dimana gerak tubuh dan ketangkasan terbentuk alami bersama gembiranya bermain. Bersama teman sebaya.

Ketika senja menjemput, ada ibu yang siap dengan makanan dan pelukan hangat. Siap menjawab pertanyaan tentang kehidupan. Dan ayah dengan siaganya siap untuk membantu apapun.

Kontras, ketika saya kembali ke dunia ‘nyata’. Saat ini. Dimana lahan lapang sudah jarang, pun di desa. Kesempatan bermain yang semakin sempit. Mulai pagi hingga jam dua siang disibukkan di sekolah. Fullday school, bahkan yang masih kelas satu dan dua SD. Istirahat satu jam yang kemudian harus mempersiapkan diri untuk pelajaran tambahan. Atau kursus lainnya, bahasa Inggris, musik, sempoa, bulu tangkis… Must speak in English at home..

Beranjak malam baru ada kesempatan untuk beristirahat; di depan TV (dengan tayangan ‘seadanya’), menghadap computer, majalah anak-anak, atau menelpon teman untuk menanyakan tugas untuk esok hari. Ditemani fried chiken, kentang goreng, pizza, burger, yang franchisenya hingga ke kota sekecil Kediri. Ditambah cola dan minuman instant lainnya. Kesempatan bermain hanya bisa dinikmati akhir pekan, itu pun hanya sepak bola di lahan seadanya, main mobil remote control, atau game computer dengan pesan pornografi dan pornoaksi yang terselubung. Naudzubillah…

Apakah salah jika kemudian muncul kalimat; ” Terserah, itu kan urusan dia.”

“Emang gue pikirin.” Atau “ Kita? Elo aja kali, gue ngga..”

Apakah keliru jika kemudian nada-nada tinggi terdengar dari mulut-mulut kecil itu? Nada-nada frustasi dan kelelahan. Saling menyalahkan dan penuh ambisi.

Apakah tidak tepat jika kemudian kegemukan terjadi pada mereka, kelemahan fisik mereka, penyakit yang dulunya tidak ada, berkurangnya kemampuan tubuh..

Atau pikiran, pandangan mata, perbincangan dan perilaku yang meniru ‘orang dewasa’ terjadi di antara mereka?

Apakah mereka, ‘orang-orang masa lalu’ tidak lebih berprestasi dari anak-anak sekarang?

Kecerdasan emosi yang labil, karena ketidakseimbangan berpikir dan bergerak. Itulah yang saya lihat dari mereka. Perbincangan tentang ‘modernisasi’ tidak lantas mendewasakan pandangan pada suatu masalah.

Mugkin ini hanya terjadi pada beberapa anak saja, dalam komunitas tertentu. Dan dalam kalangan tertentu. Tetapi apakah ‘beberapa anak’ ini jumlahnya tidak bertambah seiring dengan gaya hidup yang dianut orang tua dan masyarakat sekitarnya?

Dimana sosok ibu saat itu yang seharusnya menjadi ‘sekolah’ pertama bagi anak? Di mana sosok ayah yang mereka cari untuk mengidentifikasi sosok ‘pelindung’ dalam kehidupan mereka? Apakah ibu saat ini adalah pengantar jemput sekolah?

Apakah sosok ayah saat ini adalah uang dan kecukupan materi? Dan kemudian saling bertemu dengan kepenatan masing-masing, egoisme, kelabilan emosi dalam tenaga dan waktu sisa.

Lalu mau dibawa kemana masa depan mereka? Bangsa ini? jika ambisi dan obsesi orang tuanya cenderung pada gaya hidup di ‘dunia maya’? di layar kaca?

Dunia impian? Atau ketidakpedulian?

pindahan.....

mmm.... pindahan.
bukan berarti meninggalkan dan merombak semua yang lama khan....
tulisan-tulisan disini kebanyakan pindahan dari sebelah...
atau pindahan dari pikiran saya ^_^

....

biar kata tak mampu ungkapkan semua
namun rangkaiannya setidaknya bisa tunjukkan sebagian rasa