Rabu, 06 Mei 2009

ramai...

Lucu, kadang saya merasa terlalu aneh hidup ini. Why?

Suatu saat, ketika saya berada diatas bis yang membawa tubuh saya ke Surabaya pikiran saya melayang ke mana-mana. Ke jalanan, ke pohon-pohon yang seolah mengejar, ke wajah-wajah di sekitar saya, ke suara-suara yang semakin menghanyutkan pikiran saya menuju lamunan.

Ketika melewati suatu tempat, dari kejauhan nampak gugusan gunung yang lebih luas, setelah beberapa gunung dan bukit saya lewati di awal perjalanan tadi. Nah, dari sini kepala saya mulai riuh bersuara,”Lha ngapain orang hidup susah-susah. Panas-panas di pinggiran jalan, nyanyi keras-keras dihadapan para penumpang angkutan yang terkantuk-kantuk bosan, ato bahkan rela menjual harga diri (yang katanya demi sesuap nasi). Ngapain susah-susah? Apa si yang dikejar?”

Lalu suara di sebelahnya bilang,”Ya nyari duit lah, nyari makan, nyari kehidupan. Memenuhi kebutuhan. Demi eksistensi (halah!).”

Hmm.... lalu mulai deh riuh terdengar di kepala saya. Kenapa musti susah-susah, kembali aja ke desa, hidup tu di pegunungan. Rumah? Cukup buat dapur, kamar, sama ruang tamu. Ga sampe tiga puluh meter luasnya. Manusia butuh makan tho? Berapa banyak sih? Se gerobak? Se truk? Seberapa? Paling banyak ya tiga piring (perutnya seberapa ya?). tinggal nanem itu kentang, jagung, pisang, singkong, mangga, duren(lha ini sih bukan kebutuhan pokok), sawi, bayem, kedele, cabe, bawang, tomat. Secukupnya saja, ngga perlu banyak-banyak, toh tiap hari dia juga akan tumbuh, menjadi besar dan banyak. Nasi? Bisa kok didapat dengan jual barang-barang tadi. Ato tukeran sama tetangga yang nanem beras (lebih tepatnya padi). Kebutuhan protein dan lemaknya? Ya melihara ayam, kambing, bebek, ga susah kan? ‘limbah’nya bisa buat pupuk. Makanannya daun singkong ato rumput-rumput liar di pinggiran sungai(saingan sama yang melihara hehe..). Kalo berlebih ya dijual buat beli minyak, garem, gula, trasi (yang ini kan ga bisa produksi sendiri). Wah... kebutuhan kan engga Cuma makan, pendidikan piye? Lalu jawab suara satunya: ya diajarin sendiri. Apa dasarnya? Baca sama nulis to? Bisa belajar dari itu buku-buku, lebih orisinal soalnya ga terkontaminasi sama wacana-wacana aneh di luaran sana, ga tercampur sama erornya acara televisi. Untuk kesehatan? Ye... gimana bisa sakit, wong udaranya buersih je. Ga ada polusi, ga ada makanan yang aneh-aneh. Paling ya masuk angin, capek-capek aja. Sosialisasi gimana? Kan ada tetangga, juga peliharaan (ayam, kambing, bebek, kelinci) ajak tu bicara biar mereka betah, seneng makan, semakin gemuk, semakin banyak. Ada juga taneman, ajak ngomong juga... bisa bikin tenang lho (yang ini bisa dicoba, tapi ngomongnya jangan keras-keras. Bahaya.)

wah... kalo perbincangan di kepala saya semua dituliskan bisa panjang ceritanya. Tapi akhirnya gini:

Ooiii.... sadar! Tanah di pegunungan dan pedesaan sekarang muuahal... lagian mana ada orang yang masih mau diajak barteran ditengah krisis ekonomi global (jie.. apaan yang ini?). memang nanem sama melihara kayak gituan butuh tanah Cuma semeter dua meter? Berapa modal? Lha wong sekarang banyak orang yang bisnis pegunungan dan pedesaan, dijadikan objek wisata, hotel-hotel, kawasan perumahan elite modern dengan besik bek tu natur, rame-rame sayuran organik, tipi-tipi sudah merajalela di sana. Barang-barang pokok juga mahal lho walo di pelosok. Motor sama mobil suaranya wes menderu-deru ribut ngalahkan suara merdunya si embek. Lha kalo gini ya ga ada bedanya sama hidup di kota, bisa jadi lebih makan ati. Terus apa mau cari tempat yang lebih pelosok lagi? Hidup dalam goa? Babat alas? Lha alase sopo? Mau hidup sendiri? Hare gene ga ada orang yang mau diajak hidup kaya gitu. Lah... siapa yang mau ngajak orang. Wong Cuma mau ngajak ibu sama embak sama ponakan-ponakan. Lha memange mereka mau? ‘Dipenjara’ sama hidup yang aneh gitu. Nganeh-nganehi wae... terus kalau semua orang berpikiran kaya gini, siapa yang nyupir bis, siapa yang kerja di pabrik2, siapa yang bikin baju, siapa yang.... Walah, bakal kacau dunia..

Setelah itu saya putuskan forum di kepala saya ditutup. Uwis Prend, capek, thats time to sleep. Jadilah saya memejamkan mata, sayup-sayup suara embek yang saya rindukan ikut membuai saya.. Hasbiyallah...

Hoho... bingung memahami tulisan diatas? Wis ga usah dibaca, wong itu Cuma pikiran aneh tentang hidup yang (kurasa) semakin anehJ

Nyalang mata elang menutup malam dengan kelam


Nyalang mata elang menatap malam. Dia merajai malam dalam benaknya. Dengan jumawa ditelitinya satu persatu makhluk riang yang masih berkeciap usang. Mereka yang kelelahan setelah seharian menapaki bumi menjalin cerita agar besok tersebutlah nostalgia. Mereka lengah ketika tiba-tiba tajam jemari elang menyambar tubuh mungil diantaranya. Sejenak makhluk-makhluk kecil itu terpana dan elang segera menembus malam bersama mangsa di genggamannya.

Elang terbang tinggi. Dia tak pernah menapak ke bumi, tak mau menapaki bumi. Hidupnya adalah dongeng penuh semangat namun nyatanya adalah merasa perkasa, yang terbang di ketinggian dengan perlahan. Elang hanyalah ilusi, mengalahkan hud mungil yang melesat cepat merasai aroma tanah, membuat sejarah, tercatat indah. Bernyanyi indah di pelukan bumi.

Mangsa mungil di kaki elang dengan keperkasaannya dia berontak, rindukan sentuhan bumi yang semakin jauh ia rasai. Dan berakhir dalam perjuangannya yang sunyi

Nyala mata elang menembus kelam. Dia mencari, mengintai dan menikam. Tak merasa bahwa dia adalah sang raja tanpa pijakan.