Sabtu, 26 September 2009

Kalo gitu, aku pengen jadi Alloh saja…

Kalimat itu terucap dari bibir murid privat saya, 5 Juni lalu. Seorang anak laki-laki kelas dua di SD Islam.

Senja itu, cerita tentang beberapa nabi telah terlewati bersama mukjizatnya yang selalu membuat pikiran kanak-kanak berdecak. Lalu kami kembali kepada Nabi Adam AS. Dia bertanya,”Apa mukjizatnya?”

Tanpa berpikir panjang saya menjawab,”Beliau manusia pertama yang diciptakan Alloh.” Saya lanjutkan tentang penciptaan Hawa, membangkangnya iblis ketika diperintah Alloh untuk menghormat pada Adam, diturunkannya Adam dan Hawa dari Syurga. Dan janji iblis untuk mengajak manusia menjadi ‘temannya’ di neraka kelak.

Saya melihat ada banyak tanya di matanya. Tapi dia hanya berujar,”Wow.”

Sampai kisah Nabi Isa yang dapat meniupkan ruh pada burung buatan, menghidupkan orang yang telah mati, atas ijin Alloh.

Dia langsung memotong,”Berarti Alloh hebat dong. Keren!”

Tentu.” Saya tersenyum. Dia sudah mulai paham.

Kayak Naruto ustadzah, wow.”

Jauh lebih hebat dari Naruto.”

Enak dong, kalau mau apa-apa tinggal sret-sret..” Tangannya bergerak tak beraturan.

Ya,” jawab saya

Kalo gitu, aku pengen jadi Alloh saja.” katanya penuh binar

Kenapa?”

Ya karena hebat.”

Saya tersenyum, sebenarnya untuk menutupi kebingungan saya untuk mencari jawaban.

Mas Dito tahu siapa itu Alloh?”

Makanya saya pengen ketemu.” Jawaban yang jauh dari harapan saya.

Mas Dito tahu Firaun? Raja di jaman Nabi Musa? Yang mengaku dia itu Alloh (Tuhan)?

O, Nabi Musa yang pingsan waktu ingin ketemu Alloh itu ya?”

Iya.”

Silau itu mungkin ustadzah...”

....”

Klise mungkin. Banyak pertanyaan semacam ini muncul dari bibir-bibir mungil itu. Penuh tanda tanya, dan imajinasi yang tidak terbatas.

Fragmen tadi membawa saya pada belasan tahun lalu, saat saya masih bermain-main di taman kanak-kanak. Jawaban singkat yang nyaris membuat saya mati.

Bu, saya ingin bertemu Alloh,” saya mengacungkan tangan tiba-tiba. Diantara gaduhnya kelas.

Jawaban guru saya masih lekat dalam pikiran saya hingga sekarang,”Kalau mau ketemu Alloh harus mati dulu.”

Entah kenapa pernyataan itu terus menghantui. Yang kemudian membuat saya memutuskan untuk ‘mati sebentar’.

Saya menelungkupkan bantal pada wajah saya di kamar tidur siang itu. Saya tahan napas sekuat tenaga, hidung saya pencet dan membayangkan bertemu Alloh. Entah kenapa yang ada di bayangan saya saat itu adalah sosok raksasa Ultraman dan monster batu musuhnya. Gambar bintang dan komet di buku antariksa kakak saya bergerak-gerak di ruwet di kepala saya. Hingga saya pusing, dan gagallah usaha pertama. Esoknya saya mencoba lagi. Saya lupa apa yang kemudian membuat saya menghentikan aksi ini. Hingga di kemudian hari saya berpikir, ada berapa anak yang akan melakukan hal yang sama dengan pertanyaan seperti itu. Pertanyaan mendasar tentang akidah, yang bisa jadi akan selalu lekat pada ingatannya.

Bagaimana dengan anak-anak kita, jika jawaban itu mereka temukan melalui kehebatan Naruto, versi penguasa buminya Avatar. Atau pertanyaan itu dilontarkan kepada orang yang tidak tepat, yang akan mencari jawaban singkat agar tidak ada pertanyaan lagi setelahnya. Ketika pertanyaan itu ditujukan pada kita, siapkah untuk menjawab? Apakah kita dapat menjawabnya dengan tepat sesuai pemahaman mereka. Atau kita hanya tersenyum dan menjawab,” Sudah Nak, nanti kalau sudah besar pasti tahu sendiri…”


Isnatul Ismi

Majalah Ummi Maret 2009