Idul Fitri telah berlalu. Tapi sensasi bahagia dan capeknya masih terasa. Bagaimana 2tidak, Idul fitri tahun ini adalah yang pertama kalinya malam takbiran dan sholat Id di perantauan bersama suami dan anak-anak saja. Terasa jauh berbeda dengan tahun-tahun lalu yang telah menjadi tradisi sejak kecil, bahwa malam takbiran adalah begadang di dapur bersama ibu. Menyiapkan berbagai hidangan tradisional untuk menjamu tamu keesokan harinya, memasak madumongso dengan kayu bakar semalam suntuk, mengolah berbagai hidangan; rendang, rawon, iga pedas, jangan lombok, opor ayam dan urap-urap. Berbagai pilihan hidangan untuk menyambut berbagai macam selera tamu, begitulah kata ibu.
Dulu belum saya pahami makna kata dan laku ibu setiap malam takbiran itu, saya pikir sekedar memasak untuk hari besar, hari bahagia. Hingga tahun ini, saat saya jauh dari beliau dan mendapat 'tugas besar' dari suami. Menjamu tamu-tamu suami tepat saat Idul Fitri di rumah mungil kami. Sebagai pengurus masjid setempat, suami mendapat semacam kehormatan untuk menjamu imam dan khatib sholat idul fitri dan pengurus masjid. Wah, saat mendengar hal ini saya langsung merasa tertantang. Orang yang saya cintai seolah ingin menguji seberapa terampil istrinya di dapur dan menunjukkanya pada orang banyak. Hmm... baiklah, saya akan membuatnya bangga.
Mulailah saya mengatur strategi, menyusun menu, menyiapkan perangkat saji (dan menyadari bahwa, piring, gelas, mangkuk sayur yang kami miliki minimalis dalam jumlah dan bentuk 😊), menghitung budget dan.... menelepon ibu. Seperti biasa, respon ibu datar saja, diam sejenak untuk berpikir kemudian bertanya,"Bisa?"
Tanpa pikir lagi saya jawab,"Bisa." Dan resep lezatnya kemudian meluncur dari seberang kota.
Dan akhirnya, inilah menu yang terpilih:
- ketupat sayur
- rendang
- nasi pecel
- es buah
dan aneka kue dan kerupuk
Tentang ketupat ini, ibu menyarankan agar diganti lontong saja. alasan beliau sih untuk menghemat waktu dan lebih tidak ribet. tentu dengan berat hati saya menolaknya, ketupat kan ikon idul fitri. Lagipula saya memutuskan untuk memesan ketupat yang sudah matang. Namun apa daya, ibu pembuat ketupat menolak untuk memasakkan ketupat pada malam takbiran. Alasan beliau sih karena melawan kebiasaan. Cring... saya jadi tahu bahwa di beberapa wilayah jawa, khususnya pesisir ada anggapan bahwa 'gak ilok', tidak tepat menyajikan ketupat tepat hari pertama idul fitri.
Dengan dibantu seorang tetangga yang masih remaja, malam takbiran harus saya habiskan di dapur. Menggoreng, menumis, merebus, meracik bumbu yang saya kira mudah ternyata cukup berat juga. menjelang tengah malam saya masih dibantu dan ditemani hingga tetangga saya pamit. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, matahari segera terbit, namun pekerjaan saya belum tuntas. ditambah dua jagoan yang butuh perhatian. Terbayangkan kacaunya pagi itu. Apa boleh buat, saya harus rela melepas suami dan anak-anak sholat Id dengan formasi tidak lengkap. (lagi-lagi saya harus bersyukur: betapa pengertiannya lelaki indah itu)
Bergegas saya segera menyiapkan hidangan, perlengkapan saji, memotong buah dengan pontang panting. Tepat beberapa detik terakhir pekerjaan usai datanglah rombongan tamu yang ditunggu, diawali suara tapak kaki dan celotehan jamaah cilik yang super heboh yang manjur mengilangkan kegugupan yang sempat mampir.
Dengan dibantu ibu-ibu jamaah yang turut berkunjung, tersajilah deretan hidangan lebaran yang sangat luar biasa menurut saya. Ah, riuh percakapan para jamaah di ruang tamu membuat kebahagiaan yang seakan tersumbat di dada meluap... Hidangan pun tandas. Alhamdulillah....
banyak hal yang baru saya sadari, bahwa ada kebajikan luar biasa yang tersirat dari indah dan lezatnya sajian di meja makan. rasa cinta, perjuangan dan filosofi luhur yang dapat kita pelajari dari sejarah tiap masakan, sebagai pesan moral yang diturunkan bersama ukuran bahan dan tradisi. seberapa besar rasa cinta yang kita sertakan saat memasak, sebesar itulah kelezatan yang akan dirasakan penikmat masakan kita.