Karya Sastra, haruskah menggunakan bahasa yang ‘berat’?
Sekilas, apa yang ada dalam pikiran kita ketika ada kata ‘sastra’ yang mampir di sana. Mungkin yang terbayang adalah rangkaian kata-kata yang rumit. Pemikiran filosofis atau tumpukan buku tebal.
Tak dapat dipungkiri memang bahwa hal tersebut tidak dapat disalahkan. Sastra tidak lepas dari metafora. Kualitas karya sastra yang tinggi adalah ketika jarak antara realitas dan imaji semakin jauh. Atau rangkaian kata yang menyambung yang menciptakan suatu nilai rasa tertentu. Semakin rumit kiasan atau simbolisasi dalam karya, maka semakin indah pula karya tersebut. Misalnya saja sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri dengan perpaduan rimanya yang jika dipadu dengan irama akan menjadi seperti pembacaan mantra yang indah.
Namun bukan berarti karya yang ‘lugas’ nilainya lebih rendah dari karya yang ‘rumit’ tersebut.
Merangkai kata adalah menangkap bayang-bayang yang berlarian di kepala. Meramunya dan menyajikannya sebagai rangkaian kata yang bermakna. Menurut saya, karya sastra adalah suatu media untuk menemukan ‘budhi’, keluhuran manusiawi. Apapun itu, bagaimanapun, jika karya tersebut menhentak kesadaran kita, menampar dari kekhilafan. Kemudian membawa kita menemukan kebijaksanaan, menjadi tahu diri. Itulah sastra. Gak perlu kata-kata yang ruwet, yang berat. Cukup ketika dia mengingatkan makna diri...
Lagi pula... apakah perlu pengakuan dan pengkotakan... bahwa yang hadir dalam kepala kita, yang kita tuangkan adalah karya sastra. Enggak tho...
Jadilah diri sendiri dalam berkarya.... perkaya referensi. Temukan ciri dalam tulisan kita. Intinya....yok terus belajar, karena tidak pernah ada ‘sempurna’.
Semangat berjuang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar