Rabu, 02 Maret 2016

Mencari Diri Menuju Persinggahan Sejati




Judul buku: Memoirs of Stientje

Pengarang: Md. Aminudin

Penerbit: MyBooks, Yogyakarta

Tahun terbit: 2011

Tebal Halaman: 618 halaman

Panjang Buku: 14x 20,5 cm

Ilustrasi Buku: Sampul buku didominasi warna jingga. Berlatar suasana peperangan di Jawa yang terlihat pada latar sampul belakang yang menampilkan bangunan khas Belanda tempo dulu, andong dan para lelaki yang memakai pakaian khas jawa. Dua tokoh utama ditampilkan pada sampul depan yaitu perempuan belanda tua mengenakan kerudung dan seorang lelaki Tionghoa yang masih muda dengan posisi saling membelakangi dipisahkan oleh asap tebal sisa ledakan.Di sini, selalu saja saya temui hal yang sama; jejak-jejak penindasan yang mulai mengering namun tak jua hilang...,Sebuah kalimat yang mengawali keseluruhan isi buku ini. Sebuah kalimat bernada kegelisahan akan keadaan di sebuah negeri Indah bernama Indonesia. Di sini, di Indonesia, hingga detik ini tergambar dengan jelas segala bentuk penindasan. Kasus-kasus korupsi tingkat tinggi dengan nominal yang fantastis hingga ‘seremeh’ sandal jepit membetot perhatian hingga gelengan kepala miris. Ya, miris. Bahkan pada usia kemerdekaannya yang menjelang 67 tahun Indonesia masih merangkak mencari model keadilan. Kerusuhan dan makar juga terjadi di negeri ini, secara kasat mata- terang benderang atau yang sembunyi-sembunyi menggerogoti harga diri negeri. Di hadapan kita masih terpampang jelas perang fisik terjadi; bentrok warga dengan jamaah Ahmadiyah, saling bunuh karena cinta dan harta, antar pendukung tokoh atau partai tertentu, hingga aparat dengan warga. Di satu waktu kita disuguhi kemewahan yang tiada terkira; mewahnya gedung-gedung penguasa dan segala ‘penyelenggara negara’, kemewahan apartemen dan rumah tinggal yang bagai di surga, hingga kemewahan yang menempel di ujung jari. Tapi di waktu yang sama kita dijejali keprihatinan yang terus berteriak meminta simpati; gedung sekolah roboh, rumah sakit pailit, nasi basi yang dikonsumsi, hingga saling membunuh demi sesuap nasi. Di negeri yang ketika tongkat kayu dilemparkan begitu saja di tanah akan menjelma menjadi sumber kehidupan.Keresahan akan keadaan yang menggelitik nurani ini juga terwakili oleh seorang perempuan belanda totok bernama Stientje. Dia, dengan pertanyaan kritisnya tentang hidup dan kehidupan membawanya pada persinggahan akhir hidup yang diimpikannya. Stientje, putri tunggal dari seorang pejabat Belanda yang lahir di negeri khatulistiwa ini selalu merindukan tempatnya dilahirkan. Di negeri koloni bernama Hindia Belanda. Di negeri jajahan bangsanya ini dia merasa menemukan keluhuran budi pekerti dan ketingian nurani. Hal inilah yang membuatnya kembali ke Hindia Belanda mewujudkan cita-citanya untuk mengajar rakyat pribumi. Bersama sepupunya, Roos, Stientje melayari lautan menuju negeri yang dirinduinya. Di perjalanan, Stienje bertemu dengan pribumi yang menawan hatinya, Wardoyo. Lelaki Jawa yang begitu bangga dengan kebelandaannya. Hingga dari Roos dan Wardoyolah, Stientje bergabung dalam perkumpulan Mason. Stientje dengan sifatnya yang penyayang, selalu peduli dengan penderitaan rakyat pribumi terpikat dengan agenda Mason untuk memberikan pelayanan kesejahteraan. Di sini juga dia bertemu dengan Habib Husein, saudagar keturunan Arab yang karena dianggap sebagai pengikut Ahmadiyah mendapat undangan untuk menghadiri pertemuan para petinggi Mason. Inilah langkah-langkah permulaan Stientje menemukan jati dirinya sebagai manusia. Mengenal gerombolan pejuang yang seringkali disebut sebagai pengacau, dekat dengan kaum pergerakan Islam yang memperjuangkan harga diri negeri. Menemukan seorang lelaki yang dengannya kesetiaannya teruji hingga menemukan dirinya yang baru yang membuatnya kuat dan perkasa menapaki segala kepedihan yang terus menjadi kerikil hidupnya. Di sini, di negeri permai ini Stientje memutuskan pulang di kesunyian rimba Indonesia.Cinta, kasih sayang, dan airmata memenuhi hidupnya. Bagaimana pedihnya saat dengan mata kepala sendiri Stientje melihat penghianatan sepupunya dengan lelaki yang dicintainya. Penghianatan yang tidak hanya cinta anak muda yang dipertaruhkan, tapi juga dengan nyawa. Menjalani kehidupan sunyi di hutan liar, menjadi istri pejuang yang selalu diburu, merawat rakyat pribumi walau acapkali menerima pandangan ganjil, menjumpai ayah yang dicintainya kehilangan pikiran sehat, hingga menjadi tahanan politik bangsanya sendiri. Siapa sangka bahwa keprihatinan hidupnya tak lepas dari campur tangan sepupunya sendiri, Roos sang antek Yahudi. Yang bahkan ketika menjelang eksekusinya Roos masih membebani pikirannya;“Tak ada kekacauan di dunia ini tanpa campur tangan orang-orang Yahudi, asli maupun antek-anteknya. Kami ibarat kuman yang menjangkiti semua golongan. Tak peduli apakah itu komunis, liberal, gereja-gereja, dan umat yang lemah imannya, yang memandang keyakinan hanya identitas belaka. Kami sasar pimpinan-pimpinan mereka karena itulah cara kerja paling ringkas dan mengena. Dengan begitu maka gampanglah kami menguasai umat mereka. Kami bekerja lewat seni, tradisi, industri, politik, dan pengajaran. Pendek kata semua lapangan kehidupan rakyat tiada satupun yang luput dari perhatian kami.”Namun dengan keprihatinan hidupnya, Stienje lebih tajam menelisik nuraninya. Hingga petunjuk terang benderang menyinari hatinya. Jalan pikiran dan perasaan Stienje dalam novel ini mengajak kita satu demi satu menjawab pertanyaan yang semestinya ada pada kedalaman hati. Agaknya penulis, yang juga seorang aktifis PII ini ingin mengajak pembaca mengurai dengan jernih permasalahan yang terpampang jelas di hadapan negeri besar ini. Menjelajah waktu, mempelajari sejarah bangsa sendiri. Betapa permasalahan bangsa ini berawal dari tertutupnya nurani terdalam manusia dalam hiruk pikuk kehidupan sehingga pertanyaan nurani yang selalu mengusik kesadaran menjadi kabur. Empat zaman sejarah bangsa ini terangkum secara singkat dari perjalanan hidup Stienje, mungkin kita akan terhenyak tersadar bahwa masalah yang kita hadapi ini adalah warisan sejarah yang belum terselesaikan. Fenomena Ahmadiyah yang masih menuai kontroversi, korupsi, para penjilat kekuasaan, hukum, kesejahteraan, jati diri bangsa, hingga gaya hidup. Adakah ini ulah konspirasi yang dirancang perkumpulan Mason lewat gurita pengaruhnya?Disertai data dan fakta sejarah, novel ini seakan nyata. Tempat, tradisi, peristiwa yang terjadi dalam empat jaman terkait erat dalam kehidupan tokoh. Berbalik dari hal yang dianggap lumrah, penulis menyajikan para pejuang kemerdekaan berdarah Tionghoa, Arab, dan Belanda sendiri. Perjuangan yang tak lepas dari ideologi yang tergenggam karena laku mengabdi pada kebenaran hakiki. Bahwa kemerdekaan adalah milik semua pribadi dan kehambaan adalah kepada Allah SWT saja. Hingga kita menjadi maklum bahwa bangsa yang majemuk ini mempunyai pahlawan yang belum tersebutkan apakah itu dari pribumi sendiri atau bangsa lain yang terlanjur mencintai bumi pertiwi. Pun dengan para penjajah pertiwi yang bisa jadi pribumi sendirilah yang menjual dan menggadaikan negeri ini. Ataukah segala permasalahan yang dihadapi negeri ini memang dimunculkan untuk tidak pernah terselesaikan.Masih berkaitan dengan Tembang Ilalang yang telah terbit sebelumnya Md. Aminudun menghidangkan Memoirs of Stientje dengan nilai perjuangan dari sudut pandang kehalusan seorang perempuan. Romantisme yang menjadi penyegar dalam pemikiran-pemikiran yang mendalam. Dan keterkaitan perjuangan antara dua novel ini. Tak jarang dahi kita berkerut menemui ‘kenyataan’ bahwa beberapa tokoh nasional kita jumpai dengan paparan kebobrokan hidupnya. Bahwa sebelumnya kita jumpai seorang tokoh revolusioner yang dipuja-puja dengan berbagai atribut kebesarannya ternyata harus luluh lantak di sebuah halaman novel. Kritikan tajam, pemikiran kritis atas peristiwa negeri akan terekam kuat di kepala pembaca. Bahkan perjalanan paling dasar manusia menemukan tuhannya terangkai apik dalam proses berpikir yang dihadapkan dengan peristiwa nyata. Dari sini, agaknya kita harus (dipaksa) mengaca, membaca kembali sejarah, tentang bangsa ini, tentang kehidupan, tentang budi pekerti dan harga diri yang agaknya semakin terkikis habis oleh hiruk pikuk dunia yang semakin ramai. Ya. Sebelum sejarah tertimbun dalam ketidak sadaran nurani.



Tidak ada komentar: