Sabtu, 26 Juli 2008

‘Maskulinitas’ Tokoh Perempuan ‘Feminis’


‘Maskulinitas’ Tokoh Perempuan ‘Feminis’

Novel Geni Jora hadir, ketika masyarakat kita ramai membahas perempuan pengarang dan karya-karya yang ‘beraroma’ perempuan. Mengusung kesejajaran dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Berbagai karya lahir dan kemudian menjadi bahan diskusi—kebanyakan untuk mendukung gerakan ‘keperempuanan’. Mulai dari Saman-Larung yang lahir dari kreatifitas Ayu Utami, rangkaian Supernova dari Dee, Jangan Main-main Dengan Kelaminmu oleh Djenar Mahesa Ayu.
Rangkaian karya sastra yang ditulis oleh perempuan dan berisi tentang perempuan membuat suatu pemahaman bersama bahwa karya-karya tersebut hadir untuk memperjuangkan feminisme dan feminitas.
Jika kita memperhatikan pengertian feminisme secara umum yang berarti pergerakan perempuan ataupun laki-laki untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan pada tataran sosial. Atau perjuangan untuk menolak sesuatu yang dianggap sebagai marginalisasi terhadap perempuan, perempuan sebagai subordinat dan direndahkan oleh dominasi laki-laki baik dalam pendidikan, hukum, politik, ekonomi maupun rumah tangga.
Konstruksi tentang perempuan yang melekat selama ini adalah tentang perempuan sebagai tong sampah dari kekalahan, ketertindasan, kelemahan, kebodohan, ketidakberdayaan. Tipis sekali perbedaannya dengan sifat dasar perempuan yang lembut tetapi lebih tegar, ngemong, lebih menggunakan perasaan, lebih bisa menahan emosi. Serta berbagai sifat dasar perempuan yang lain.
Kejora, tokoh utama dalam novel ini tumbuh dalam lingkungan keluarga yang islami. Ia lahir dari seorang ayah yang tunduk patuh pada ajaran-ajaran Islam. Kakak perempuannya bernama Bianglala atau lebih sering dipanggil dengan Lola. Lola adalah seorang gadis yang cantik dan sangat pendiam, berkebalikan dengan Jora, tetapi mereka berdua sangat dekat.
“ Lola memang kakakku yang baik. Penuh perhatian. Antara kami seperti dua sisi mata uang. Kami selalu bersama, namun satu sama lain, seperti sisi mata uang, tak pernah mampu melihat kembarannya. (hal 212).
Dari sini bisa dilihat alangkah dekat hubungan mereka berdua tetapi dengan ciri khas masing-masing yang cenderung berkebalikan. Kejora dan Lola memiliki dua saudara laki-laki mereka bernama Samudra dan Prahara. Ibunya berstatus istri kedua, Ibu tirinya, istri pertama ayahnya, tinggal di dalam rumah yang sama. Kejora bersaudara tumbuh di dalam rumah besar dengan tiga dinding tinggi tebal mengurung mereka, hanya bagian pintu pagar saja yang agak terbuka memperlihatkan dunia luar. Rumahnya dengan rumah ibu tirinya, hanya dipisahkan oleh sebuah halaman seluas lapangan bulutangkis. Masa kecil kejora hanya dihabiskan di dalam rumah, dia hanya dibolehkan ke luar halaman untuk sekolah dan les bahasa Arab. Sementara, adik lelakinya, Prahara, boleh bermain sepuasnya di luar rumah dari pagi hingga petang.
Jora adalah gadis mandiri dengan cita-cita tinggi : mendobrak dominasi laki-laki. Ketka ia dan Lola menginjak remaja, mereka mulai naksir pemuda sebelah rumah. Setiap pagi, kedua gadis itu memanjat pohon yang banyak tumbuh di halaman rumah mereka, mengintip pemuda tetangga keturunan Arab bernama Ali Baidawi alias Alec Baldwin, jogging. Memanjat pohon dan mengintip Alec Baldwin adalah bentuk perlawanan terhadap perlakuan diskriminasi orang tua (ayah, ibu, paman dan nenek) mereka. Karena kebiasaan dalam rumahnya yang memberi ‘perlakuan istimewa’ pada anak perempuan. Karena rumah tangga orang tuanya benar-benar sebuah lembaga patriarkhi yang memberi tempat utama bagi lelaki. Sementara perempuan seperti dirinya, Lola, ibunya, dan ibu tirinya, hanya berada di urutan kedua. Walaupun ia jauh lebih cerdas dari adik lelakinya itu. Neneknya, adalah seorang yang sangat mendukung ‘gaya hidup’ di rumah tersebut karena ia telah lama hidup dan lama merasakan bagaimana berada di bawah dominasi para lelaki. Hal ini membuat Kejora tumbuh dengan sebuah "dendam" di hati. Dendam kepada penguasaan para lelaki. Jora ingin selalu lebih baik, atau lebih tinggi di antara para lelaki. Kejora menuntut ilmu di sebuah pesantren besar. Di pesantren ini, para santrinya dididik dengan aturan dan disiplin keras berdasarkan syariat Islam. Dan diajarkan pula ilmu pengetahuan umum lainnya. Dari sini, kelak diharapkan akan lahir perempuan-perempuan muslim cerdas dengan pengetahuan dan ilmu yang tak kalah hebat dibanding lulusan sekolah umum. Di sini Kejora cenderung berpikiran moderat. Sebagai gadis yang cerdas, tak jarang mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa tidak logis. Dia hadir dalam bentuk seorang gadis yang memberontak atas apa yang lama menjadi pertanyaan-pertanyaannya. Tetapi dia tidak sendirian. Banyak teman santri putri yang juga ‘memberontak’.ada saja santri-santri yang suka melanggar peraturan dan disiplin pesantren. Ada persaingan akademis yang berbuah kecemburuan, ada kelompok-kelompok pertemanan yang saling bermusuhan, sampai dengan lesbianisme. Yang merupakan pelanggaran yang sangat berat di pesantren ini. hal ini merupakan salah satu realita yang terjadi di pesantren. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa ‘rahasia-rahasia’ kehidupan pesantren terbuka disisni.
Dalam menuntut ilmu, Kejora melanjutkan sekolahnya ke Maroko. Hal ini mendongkrak kebiasaan di lingkungannya bahwa gerak perempuan dalam menuntut ilmu sangat terbatas dan dibawah laki-laki.
Tokoh digambarkan sebagai perempuan yang kuat, cerdas, dan mampunyai lebih energi, kekuatan, penuh dengan pemberontakan terhadap laki-laki. Ada semacam dendam Kejora pada laki-laki. Hal-hal yang dilakukan oleh laki-laki akan dilakukan juga oleh Jora atau perlakuan kekasihnya akan dia balas dengan hal yang sama atau bahkan lebih.
“Jika laki-laki pandai menipu, perempuan tak kalah lihainya dalam hal menipu. Jika laki-laki senang berburu, tak ada salahnya perempuan menyenangi hal yang sama.” (hal 9).
Jora juga merupakan produk keluarga feodal, berasal dari keluarga dengan budaya pesantren yang juga memandang tinggi laki-laki, dan memperlakukan anak laki-laki lebih istimewa dari perempuan. Begitu pula dengan keberadaan ibunya yang merupakan istri kedua dari seorang pengusaha dan pemuka agama. Dan posisi ibunya terkesan lemah terhadap dominasi laki-laki. Jora juga mengalami krisis ketika dihadapkan pada realitas keluarganya yang patriarki. Tetapi kemudian Jora melakukan pemberontakan, hal ini disampaikan melalui ucapannya terhadap sikap neneknya yang sangat patriarki
“Lihatlah, Nek! Kau telah gagal membentengi diriku. Tamengmu tameng semu. Terbukti cakrawalaku lebih menghampar dari halaman rumahmu. Langitku lebih lebar dari atap rumahmu. Pemandanganku lebih luas dari kisi-kisi jendela karatmu. Dari atas pendakianku, terlihat semua yang kau tutupi dan terbuka semua yang kau sembunyikan. Milikku adalah semesta penglihatanku dan milikmu, Nek, sebatas tempurung buntu. Kaulah "katak dalam tempurung" sang waktu”. (hal. 77)
Mengapa feminitas seakan tidak mendapat porsi dalam kepribadian kejora yang lincah dan cerdas. Yang ada adalah sikap-sikap Jora yang lebih mendekat pada sifat yang dimiliki lelaki. Sehingga ada suatu pesan yang ditangkap bahwa Jora tetaplah obyek, bukan subyek. Keberadaan Kejora bukanlah senter yang mempunyai pengaruh terhadap pandangan di sekitarnya. Sehingga inti kekuatan perempuan yaitu pada kelembutannya yang mempunyai pengaruh pada lingkkungan sekitarnya lesap. Bukan pengakuan atas kedirian yang perempuan dengan berbagai sifat dasarnya. Yang sepertinya malu mengatakan,”Ya saya perempuan dengan keperempuanan saya.”
Seakan-akan Jora adalah korban lelaki, korban sudut pandang lelaki. Karena pandangan, anggapan, sudut pandang penilaian yang digunakannya adalah sudut pandang laki-laki. Dimana persaingan adalah lumrah. Eksistensinya adalah pemberontakan, dunianya adalah kekuatan fisik, rasionalitas yang berlebih, atau ketidakpedulian terhadap orang lain lebih identik dengan maskulinitas, bukan feminitas. Padahal perjuangan hak-hak perempuan juga melipiti perjuangan identitas alami perempuan bukan peniruan atas kelaki-lakian. Akan tetapi ada suatu fenomena yang terjadi bahwa perjuangan perempuan terhadap laki-laki adalah perjuangan posisi, kekuasaan dan pengaruh. Bukan pembagian kerja yang bisa disinergikan dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Parameter kemerdekaan, keberadaan perempuan adalah ketika perempuan lebih unggul dari laki-laki. Perempuan bisa melakukan apa yang laki-laki bisa. Sehingga ada semacam dendam atas suatu persaingan antara laki-laki dan perempuan. Bisa jadi hal ini merupakan pembuktian bahwa lelaki tetap eksis karena dunia dipandang dari sudut pandangnya. Misalnya dibalik, semua menggunakan sudut pandang perempuan apakah lelaki bisa memahami dan melakukannya. Misalnya dengan kelembutan dan perasaan perempuan ketika memandang suatu masalah apakah lelaki akan mau dan mampu, demi kesetaraannya dengan perempuan. Sehingga dominasi laki-laki tetap ada pada dunia luas karena kaum perempuan yang ingin memperjuangkan perempuanpun ikut ’mengampanyekan’ maskulinitas.
produk feodal identik dengan dominasi laki-laki sebagai penguasa. Akan tetapi realitasnya, banyak lelaki penganut petriarki, yang tumbuh di ‘kawasan patriarki’ yang menganggap perempuan adalah second sex tunduk dibawah bayang-bayang perempuan yang justru tetap mempertahankan identitasnya sebagai perempuan. Yang sekali lagi, identik dengan kelembutan. Hal ini secara tidak langsung terdapat dalam novel ini pula. Bagaimana kejora yang ‘maskulin’ tetap kagum pada Elya yang lebih ‘feminin’ atau Zakky, kekasih Kejora yang sempat terpana dengan kehalusan Bianglala. Kekaguman atas kelembutan tidak tiba-tiba menghilang dari karya yang juga ditulis oleh seorang perempuan ini.
Satu lagi, ada kesan ‘mamaksakan diri’ pada tokoh Kejora. Dia menjadikan dirinya sebagai pusat dimanapun dia berada, suatu kebutuhan psikologis yang akhirnya seperti membawa beban pada kejora untuk memenuhi tuntutannya untuk mencapai kepuasan yang ‘kadang seperti’ melelahkan dirinya sendiri. Kebebasan yang terkesan tragis.
“ Aku tertawa-tawa. Dalam badai topan saat semua orang terburu-buru menutup jendela....”
menggambarkan bahwa Kejora sibuk dengan perasaannya dan anggapannya terhadap ‘kemenangan’ dirinya sendiri yang mungkin tak disadarinya.
Kemudian sikap dan sifat Jora langsung terpatahkan sendiri oleh pendapatnya, ketegarannya seakan terhapus, perlawanannya sirna dengan sendirinya, karena Kejora masih tetap ‘berperasaan’
“ aku membenarkan pikiran Lola. Dan Zakky terlihat puas atas pendapat Lola yang terasa lebih adil. Barangkali juga, aku harus mulai merefleksikan diri, tidak mengalamatkan semua yang negatif semata pada Zakky. Tidak bisa terus menerus menutupi kelemahan dan kesalahan dengan apologi. Tuhanpun tidak menganugerahi kecerdasan untuk lokasi persembunyian dari kekurangan dan alibi. Apakah aku terlalu berprasangka buruk pada laki-laki? Sementara, tidak setiap laki-laki Paman Hasan atau Paman Khalil. Tidak setiap laki-laki adalah Prahara. Dan tidak semua perempuan adalah makhlik yang digambarkan oleh pikiran nenekku yang terlampau uzur untuk sebuah pemikiran baru”
Novel Geni Jora ini sarat dengan gugatan seorang perempuan Islam terhadap persoalan gender. Pendidikan yang dirasa amat diskriminatif bagi perempuan, dominasi laki-laki, poligami, lesbianisme, kekerasan dalam rumah tangga serta seksualitas. Bentuk perlawanan itu tampil dalam sosok seorang ‘feminis islam’, seperti dalam novel-novel Abidah El Khalieqy sebelumnya, salah satunya adalah perempuan Barkalung surban. Dalam penyampaiannya dan keterusterangan dari pesan bahwa perempuanpun berhak atas kebahagiaannya serta boleh berinisiatif dalam, ataupun menolak, segala hal, termasuk urusan cinta. Penulis menggunakan kata yang sangat indah dan berkias.
Tidak hanya tentang kesetaraan perempuan, penulis juga menyampaikan kritiknya terhadap mereka yang mengaku Islam namun sikap dan perbuatannya amat jauh dari nilai-nilai Islami. Ajaran-ajaran Islam sering disalahgunakan justru sebagai tameng dan pembenaran bagi tingkah laku menyimpang yang seringkali berakibat ketidakadilan bagi perempuan. Melalui tokohnya, penulis merindukan dunia yang mengakui kesejajaran hakiki antara pria dan wanita. Ketidaksesuaian perilaku dan konsep keislaman yang dipahami oleh lingkungannya yang berlatar belakang lingkungan sosial Arab—yang identik dengan Islam disampaikan disini. Misalnya tentang perilaku bebas Zakky yang ‘kebetulan’ keturunan arab dan dalam kegiatannya ia sempat menjabat sebagai ketua komunitas kajian Islam dan sempat berceramah di berbagai tempat.
Tentang dunia Islam dan kesejarahannya juga tersampaikan, misalnya tentang konflik di Palestina, kayahudian dan perjalanan wacana-wacana keislaman yang disampaikan melalui perjalanan Jora dalam mengunjungi seminar-seminar. Juga tentang pandangan dan hasil pemikiran tokoh feminis, Fatima Mernisi yang juga merupakan pesan yang disampaikan secara tidak langsung.
Dari segi struktur, novel ini mempunyai pilihan kata yang indah. Melalui kiasan dan gambaran setting yang indah. Sehingga pembaca bisa ikut merasakan warna lokal yang menjadi tempat terjadinya peristiwa. Dan dari struktur bahasa bisa dilihat bahwa novel ini terpengaruh dari novel-novel timur tengah. Dalam novel ini juga menggunakan bahasa Arab, syair-syair arab dan sebutan yang biasa digunakan dalam komunitas arab. Satu hal lagi, dalam novel ini juga disampaikan proses percintaan Zakky dan Jora yang vulgar, terus terang tanpa menggunakan kiasan.

Tidak ada komentar: