Sabtu, 26 Juli 2008

Eksotisme dan Erotisme dalam Ironi




Eksotisme dan Erotisme dalam Ironi


Ide cerita yang cerdas dan penggambaran dengan kalimat yang indah selalu menyertai karya Agus Noor. Kali ini dengan kumpulan cerpennya yang tergabung dalam sebuah buku bertajuk RENDESVOUS Kisah Cinta Yang Tak Setia, Agus Noor tetap menyajikan suatu keindahan. Ada kalanya dalam karya-karyanya terjalin untaian kalimat yang indah dan enak didengar. Rangkaian kalimat yang eksotis. Dengan permainan kata-katanya yang lihai membungkus kekerasan (kesadisan) yang bisa dikatakan sebagai salah satu ciri khas karya Agus Noor. Selain itu harmonisasi rima juga kerap kita temukan. Misalnya saja pada cerpen Kupu-kupu seribu peluru:

Terkutuklah perempuan itu! dia najis, karena membiarkan puting susunya yang garing dihisap penemis-pengemis kudis. Dia iblis karena dengan lidahnya mau menjilati borok di sekitar selangkangan pelacur yang terkena sipilis, .... dia sundal karena bersenggama denag ratusan begundal...

Tidak hanya pada cuplikan cerpen tersebut, tetapi juga pada cerpen yang pertama, Indsendstez. “Maya telanjang, telentang di ranjang”

Sekilas, ketika kalimat-kalimat dalam cerpen itu dibaca—belum sampai pada pemahaman pada makna dan nilai rasa—apabila membaca dengan menyuarakan semakin cepat seperti sebuah puisi atau bisa sebagai mantra karena harmonisnya susunan kata tersebut.

Mungkin itulah salah satu sisi yang bisa kita lihat sebagai unsur keindahan karya Agus Noor.

Mengenai ide cerita dan topik bahasan yang ada dalam karya Agus Noor juga merupakan keindahan tersendiri, walau kadang—secara pribadi—membuat saya bergidik membacanya. Tentang sesuatu, yang dalam ini saya sebut sebagai kekerasan/ sadisme, sesuatu prilaku atau kejadian yang absurd. Misalnya tetap pada cerpen Kupu-kupu seribu peluru. Bagimana tentang penggambaran pencungkilan kedua bola mata. Atau dalam Mawar di Kening Aida. Tetapi tetap dengan keindahan bahasa yang digunakan. Dalam hal ini juga mengakrabi kematian. Sesuatu yang telah sekian lama menjadi rahasia besar, yang menyimpan misteri. Kita diajak untuk menikmati perjalanan dengan panorama kematian, dengan daging dan darah, dengan segala luka yang yang ada. kita dihadapkan pada kematian yang lumrah, apa adanya.

Satu hal lagi yang membuat saya bergidik, yaitu erotisme dalam sebuah cerita. Dalam Indsendstez. Kita disuguhi sebuah cerita tentang kehidupan biologis dua anak manusia yaitu seksualitas. Dengan apa adanya pengarang melukiskan tiap bagian cerita dengan relatif detail. Ini yang saya sebut sebagai erotisme. Bagaimana tidak, ketika membuka buku beranjak pada cerpen pertama pembaca sudah ‘dihadapkan’ pada visualisasi seksual. Dimulai dengan kalimat : Maya telanjang, telentang di ranjang. Dari kalimat ini muncullah suatu gambaran imajinasi pembaca secara sekilas tentang seorang perempuan bernama Maya yang telanjang yang sedang terlantang di atas sebuah ranjang. Ada interpretasi seksual yang sudah didapat walaupun cerita belum usai dibaca. Akan tetapi ketika ‘bagian-bagian tertentu tersebut’ dalam cerpen ini dihilangkan atau sedikit saja dikurang bisa mempengaruhi keseluruhan isi dari cerita. Hal ini nampak sekali pada cerpen Kota Kelamin. Bisa dibayangkan, apakah yang terjadi ketika ‘adegan-adegan yang membuat bergidik’ dihilangkan, mungkin tidak akan ada cerpen ini. karena bisa jadi ketika hal ini dilakukan akan sangat mengurangi estetika dan esensi dari cerita ini sendiri. Cerpen ini akan kehilangan napasnya, kehilangan esensinya, atau bahkan tidak akan terbentuk suatu cerita yan hidup apabial ini dilakukan. Karena (menurut saya) esensi dari cerpen ini adalah ya itu erotisme itu sendiri. Dan seksualitas.

Yang menarik, Ironis jalan ceritanya dan ironis dampaknya. Dalam setiap karya Agus Noor dalam kumpulan ini selalu mengandung ironi. Dalam cerpen pertama menceritakan kehidupan seksual tokoh, yang ternyata lebih bersemangat jika bercinta dengan kekasihnya yang seorang waria, daripada dengan istrinya, juga tentang hubungannya dengan anaknya dan masalah psikologis si tokoh. Kemudian dalam ceita Kupu-kupu seribu peluru. Menceritakan kisah hidup seorang perempuan ‘yang malang’, Mawar di Kening Aida, sepotong bibir di jalan raya. Hampir selalu tidak pernah cerita-ceritanya happy ending. Semua mengandung ironi- ironi kehidupan. Walalaupun ketila kita melihat dari sisi lain ada suatu sindiran yang nylekit tentang masalah-masalah sosial. Tentang kepekaan, tentang keadilan, tentang kemanusiaan manusia itu sendiri.

Ironi dalam dampaknya. Bagaimana misalnya seorang anak berumur sekitar enam atau delapan tahun—yang memang harus diperkenalkan dengan karya sastra—membaca karya ini. apakah dia akan ‘biasa saja menelan erotisme dan sadisme dalam cerita tanpa ada dialektika pada dirinya sendiri atau disampaikan pada orang lain? menurut saya tak ada ubahnya ketika anak-anak disuguhi tontonan smack Down yang sekarang surut di televisi. Ketika disuguhkan pada kekerasan, bisa saja—untuk pembelaan—itu bisa saja disejajarkan dengan pencaksilat. Lalu begaimana dengan ‘intermezo’ sebelum bertanding yang berisi tantangan yang berisi umpatan, makian yang menurut saya sangat tidak bagus untuk perkembangan mereka.

Ironis jika melihat pada perkembangan ‘dunia kriminal’ saat ini yang semakin meningkat. Kekerasan demi kekerasan yang menelan banyak korban hingga meninggal menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah terjadi. Siapapun yang melakukannya. Jika beberapa saat yang lalu kita dikegetkan dengan terbunuhnya seorang anak yang ternyata ada di tangan teman sepermainannya. Lalu para perempuan remaja yang tergabung dalam geng Nero di Pati yang seakan-akan tidak pernah merasa bersalah. Hingga akhir-akhir ini kasus mutilasi empat orang lelaki oleh seorang pemuda pendiam dari Jombang. Saya tidak yakin bahwa sastra dan karyanya mempunyai kontribusi yang besar disini. Tetapi setidaknya dia memiliki andil untuk menciptakan dunia. Walau mungkin terbatas pada imaji.

Tidak ada komentar: