Senin, 04 Agustus 2008

PERAN PEREMPUAN DALAM NOVEL

Karya sastra yang lahir pada dekade 2000-an yang banyak mengangkat kritik sosial. Seiring dengan gaung reformasi, keebebasan berekspresi dan berpendapat. Sehingga hadirlah karya-karya yang menyoroti masalah perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia mutakhir. Termasuk masalah perempuan. Banyak karya lahir yang, mengangkat masalah peran perempuan dan eksistensi perempuan dalam kehidupannya, persoalan gender bisa dikatakan sebagai topik utama dalam kepenulisan di Indonesia. Dapat kita lihat buku-buku karya perempuan pengarang yang mengangkat masalah perempuan. Seperti Abidah el Khalieqy, Djenar Maesa Ayu, Asma Nadia. Helvy Tiana Rosa, Dewi 'Dee' Lestari, Dewi Sartika, Pipiet Senja, Oka Rusmini, Titie Said, Ratna Indraswari Ibrahim. Walaupun dengan berbagai konsentrasi bahasan berbada, dan cara penceritaan yang berbeda pula.

Seiring dengan isu-isu sosial dan politik tentang keberadaan perempuan dan peranannya di wilayah publik. Ada yang beranggapanbahwa sistem patriarki Jawa dan sistem agamalah yang seringkali (dan selalu) memosisikan perempuan sebagai warga kedua setelah laki-laki. Agama yang memberangus wilayah kebebasan perempuan dan mengebiri perkembangan aktifitas dan kreatifitas mereka dalam berkarya.

Karya sastra adalah suatu wadah untuk menyampaikan pendapat dan wacana pada masyarakat pembacanya. Begitu juga pada novel ini. Novel Setitik Kabut Selaksa Cinta karya Izzatul Jannah menawarkan solusi atas masalah keberadaan perempuan dalam lingkungan sosial dan keluarga secara berbeda. Objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu (Saini, 1986: 14-15). Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.

Karenanya Izzatul Jannah pun ingin menyampaikan alternatif dari masalah yang dihadapi perempuan dari sudut pandang yang berbeda pula.

Izzatul Jannah, adalah seorang penulis dan juga pemerhati masalah perempuan dan anak-anak. Dalam perjalanan hidupnya penulis aktif dalam berbagai kegiatan seminar maupun terjun secara langsung, hal ini dapt dilihat dari kegiatannya sebagai aktifis LSM perempuan di Solo dan perannya sebagai Ketua Divisi Kewanitaan sebuah partai politik berasaskan Islam di Jawa Tengah. Sehingga wacana yang dilempar dalam novelnya membuka kemungkinan besar bahwa hal itulah yang dihadapi pada realita.

Keterlibatan seniman dalam berbagai masalah yang dihadapi masyarakatnya memiliki nilai istimewa. Menurut Lucien Goldman, sastrawan besar tidak sekedar menyampaikan pikirannya sebagai seorang idividu. Dia merepresentasikan pandangan dunia (world view, weltanschauung) bahkan semangat jaman (spirit of time) sebuah kelompok masyarakat (Damono, 1977).

Novel ini menceritakan tentang Laras, seorang gadis dari kalangan priyai Jawa. Ayahnya, Raden Tjokrowardoyo adalah seorang lelaki yang patriarkal. Dia menempatkan dirinya sebagai penguasa di rumahnya. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan seorang Laras untuk sekolah tinggi dan bekerja di luar.

Laras adalah pekerja sosial pada sebuah LSM perempuan (FCC) di Jakarta. Pandangan umum tentang perkawinan di lembaga ini sangat negatif. Seakan-akan pernikahan adalah suatu lembaga yang melegalkan lelaki untuk ’menindas’ perempuan. Sampai suatu ketika Laras memutuskan untuk menikah yang ditentang oleh seluruh teman di kantornya, apalagi Sandra seniornya.

Akhirnya Laras menikah dengan seorang lelaki yang belum pernah dikenalnya, kecuali kepribadiannya yang baik dan bertanggung jawab, Bayu. Seperti anak muda pada umumnya Laras menolak ketika Romonya memutuskan untuk menjalankan seluruh ritual adat Jawa. Sehingga demi idealismenya Laras Kabur bersama Bayu setelah akad nikah di sebuah masjid. Kepergian Laras membuat murka Romonya sehingga ibunda Laras, seorang perempuan Jawa yang menyadari perannya untuk mengabdi sepenuhnya pada suami harus masuk rumah sakit jiwa karena sudah tidak kuat dengan kediktatoran Suaminya.

Novel ini memaparkan pandangan para feminis tentang lembaga perkawinan

”Bukankah perkawinan adalah neraka Larasati?”(hal 19). Tentang pengungkungan suami pada lembaga itu. Sehingga mereka memilih kebebasan yang mereka sadari adalah relatif, tentang dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam rumah tangga, tentang sistem patriarki, pembagian kerja dan kedudukan sosial yang tidak setara.

Sampai kemudian Larasati mendapatkan wacana baru dari diskusinya dengan Muthmainah, seorang perempuan aktivis Islam,

”Rasulullah selalu ikut membantu istri-istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bahkan beliau menjahit terompahnya sendiri.”

”Seorang laki-laki adalah qawwam artinya dia adalah pemimpin bagi istrinya, namun bukan berarti laki-laki mendapat tempat yang istimewa.....(hal 30)

begitu juga pada penjelasan posisi perempuan dalam politik:

”Perempuan berhak memprotes dengan mengajukan argumentasi.”(hal 31)

Pada perjalanan perkawinannya, Larasati yang semula aktifis perempuan bekerja di rumah dengan mendidik anak-anaknya, tetapi kemampuannya dalam dunia luar membuat dia ingin bekerja di luar juga. Setelah 13 tahun berada di rumah Larasati meminta ijin suaminya untuk mengembangkan kemampuannya. Akhirnya suaminya mengijinkan karena dia yakin bahwa kemampuan istrinya lebih dibutuhkan di luar rumah oleh orang banyak.

Patriarkhi Jawa yang dikenal sebagai dominasi campuran antara feodalisme dan pembagian kerja walisan kolonial menempatkan perempuan dalam oposisi biner wilayah privat dan publik serta dunia reproduksi dan produksi sebagai sebuah konstruksi. wilayah publik dikonstruksikan sebagai superior dan rasional, sementara wilayah privat (domestik) inferior. Hal ini misalnya dapat kita lihat dari ungkapan tentang posisi perempuan pada budaya jawa, yaitu ‘ suargo nunut neroko katut (ke surga menumpang ke nerakapun mengikut pada laki-laki). Hal ini dapat dimaknai bahwa apapun yang dilakukan perempuan adalah sia-sia. Kerena tuhan tidak memperhitungkan peran perempuan atas kehidupan. Karena perempuan diciptakan sebagai abdi lelaki, dan kemanapun lelaki pergi perempuan harus mengikuti.

Dari novel ini Izzatul Jannah ingin mematahkan anggapan ini agar perempuan bisa tegas mengambil keputusan. Karena kedudukan perempuan adalah sama dihadapan Sang Pencipta :

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki danperempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama )Alloh, Alloh telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. Q.S Al Ahzab: 35

Berangkat dari pengertian bahwa Islam mendukung penuh aktifitas perempuan untuk mengembangkan diri dengan memberi posisi mulia yang sejajar dengan laki-laki, dan pemberian dukungan sebagai motifasi untuk mengaktualisasikan dirinya, maka tidak ada hambatan dan kendala yang memaksa perempuan untuk menyembunyikan potensinya dalam berkiprah dan berperan aktif di berbagai aspek hidup dan kehidupan.

Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, nabi Muhammad s.a.w. bersabda yang bisa disarikan maknanya, bahwa nabi melarang perempuan yang menyerupai laki-laki dalam bentuk dan penampilan lahiriah. Namun patut difahami bahwa pelarangan tersebut tidak berlaku pada upaya perempuan untuk menyerupai laki-laki dalam kecerdasan dan amar ma'ruf.

Konstruksi politik yang bertaut dengan budaya patriarki yang membangun anggapan bahwa perempuan ideal adalah ibu rumah tangga (dunia domestik) yang mengabdi total kepada suami yang menguasai ranah publik adalah kurang benar. Karena Pembagian kerja dalam rumah tangga bagi laki-laki dan perempuan tidak mengungkung dan membatasi gerak perempuan. Laki-laki dengan fisiknya yang secara alami lebih kuat daripada perempuan dituntut untuk bekerja di luar rumah. Tetapi hal ini tidak lantas membebaskan lelaki daritugasnya sebagai seorang suami dan bapak. Karena dalam Islam Rasulullah selalu ikut membantu istri-istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bahkan beliau menjahit terompahnya sendiri.

Seorang laki-laki (dalam hal ini berperan sebagai bapak dan suami) dituntut untuk bertanggung jawab atas pendidikan dan perawatan anak. Dia juga harus memenuhi kebutuhan istrinya tanpa keterpaksaan. Apabila ada anggapan bahwa urusan rumah tangga adalah tanggungjawab perempuan semata dan bangunan masyarakat yang komplek adalah daerah kekuasaan laki-laki, harus diluruskan. Karena terjadi pemborosan sumber daya manusia dan penyia-nyiaan potensi yang seharusnya bisa dikembangkan di tengah masyarakat. Seorang perempuan pun ketika dituntut untuk lebih mencurahkan peratiannya pada pendidikan anak bukan berarti tidak bebas mengekspresikan kemampuannya, bahkan dia wajib memenuhi kewajibannya menuntut ilmu, dan mengabdikan ilmunya untuk orang banyak. Perempuan juga memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan yang sejajar dengan laki-laki. Namun pada implementasinya, perempuan belum mendapatkan kesempatan untuk mengoptimalkan aset ilmu yang di peroleh untuk kemajuan lingkungan di mana ia berada. Alasan jender tidak bisa dijadikan legitimasi dikeluarkanya larangan bagi perempuan untuk berkiprah di tengah masyarakat, karena dengan begitu justru terjadi pengebirian potensi dan pembatasan perkembangan pada perempuan yang seharusnya bisa disinergikan menjadi salah satu muara penting pencerahan di tengah masyarakat untuk mencari solusi atas suatu permasalahan. Karena bagaimanapun perempuan berbeda dengan laki-laki baik dari fisik, sudut pandang, sifat dasar dan cara menyelesaikan masalah. Sehingga lahirlah kekuatan baru untuk menghadapi masalah tersebut.
Kekuatan itu bukan berasal dari pengorbanan dari salah satu pihak tetapi kemampuan memanage tantangan, dengan mengidentifikasikan kemampuan dan mengolah perbedaan dan meraciknya untuk saling melengkapi sehingga sampai pada kesimpulan prinsip "win-win solution” dalam menghadapi suatu masalah dalam hidup dan kehidupan sosial maupun rumah tangga.
Seperti pada akhir cerita dalam novel ini, seakan-akan semua dimulai lagi dari awal. Memulai kedewasaan lagi, memulai berkomunikasi dan mulai saling menyeimbangkan diri.

Tidak ada komentar: