Sabtu, 26 Juli 2008

Cah ndeso...

Cah ndeso...

Dulu, beberapa bulan yang lalu saya masih bangga dengan atribut ini.

Cah ndeso...

Dengan pengalamannya yang sekarang langka. Bercengkama dengan alam yang masih alami.

Mencari udang, ‘berdialog’ dengan kambing dan sapi. Menelusuri alur sungai sampai pada sumber yang masih murni

Mencari buah-buahan yang mungkin tak akan ditemui beberapa tahun lagi

Mendengarkan riang suara burung

Bukan dalam dongeng dan cerita saja.

Berkumpul dengan anak-anak sekampung sabtu malam atau waktu bulan purnama

Membuat sendiri mainannya, meriam dari batang bambu, perahu dari daunnya, ketapel dari kayu jambu

Rame-rame menabuh kentongan dengan obor di tangan saat ramadhan dan malam takbiran

Berbahagia dengan kesederhanaan. Dalam ‘keterbatasan’

Sekarang?

Bukan saya tidak sepakat dengan modernitas. Bukan saya tidak suka efektifitas atau kepraktisan

Saya Cuma rindu dengan tatapan mata yang penuh canda. Berbinar ceria

Lincahnya kaki kecil berlarian tanpa alas. Diantara semak dan debu alam

Kebersamaan, empati, ketulusan dan persahabatan yang seakan tidak bisa dipisahkan.

Sekarang kampung yang dulu semarak saat malam menjelang menjadi sunyi. Mereka berlarian dengan roda-roda bermesin ke arah kota. Berbelanja. Atau sekedar jalan-jalan menikmati lampu dan hiruk pikuk disana. Atau telah terlelap dalam buaian televisi

Anak-anak membicarakan games terbaru. DVD, miliknya asli atau bajakan. Bahkan tentang pacar (anak SD!)

Saya rindu dengan teriakan mereka saat berebut layang-layang putus—kini tanah lapang itu telah di kapling

Saya rindu dengan suara aduhan dari tubuh bedebam yang jatuh dari pohon mangga atau rambutan

Saya rindu denting kelereng, lagu jamuran yang kini jadi pertunjukan. Rindu dengan cerita seram di depan rumah.

Pohon melinjo berubah menjadi toko. Tanah lapang menjadi pasar. Ladang tebu menjelma gedung sekolah. Kebun dan sawah telah dibatasi dengan dinding yang tinggi.

Nggak ada lagi kesederhanaan. Semuanya beraroma persaingan.

Hanya satu ruang yang belum terjamah. Saat aku memandang keatas. Di luasnya langit yang menggelap. Ribuan cahaya yang mungkin dari ribuan tahun yang lalu.

Kanvasnya tetap bersih. Jernih. Belum terjamah polusi yang mengotori...

Namun apa artinya jika kesunyian itu tetap meraja.

Apakah mungkin anak-anak kita nanti hanya mengenal alam dari dunia virtual. Alam buatan. Atau mereka bermain di sana hanya dalam imajinasi dari buku-buku cerita.

Cah ndeso... kadang masih ada sedikit kebanggaan. Ketika anggapan dari modernitas dan mertopolitan yang diwacanakan rusak, identik dengan gaya hidup tidak sehat dan dunia yang gemerlap.



Cah ndeso yang merindukan ‘desa’nya

Tidak ada komentar: