Selasa, 22 Juli 2008

Salahkah..

Merasakan menjadi anak-anak. Mengingat masa lalu, ketika berlarian di tanah lapang yang luas menaikkan layang-layang. Menyeret batang-batang tebu dari tegalan. Mengembala kambing, berebut susu dengan anak kambing. Berkotor-kotor pada lumpur di sawah, memanjati pepohonan mencari buah-buahan segar, membuat rumah diatas pohon, mendirikan tenda di ladang mangga, membakar ikan, singkong. Atau sekedar memancing dan berbasah-basahan di sungai. Dimana gerak tubuh dan ketangkasan terbentuk alami bersama gembiranya bermain. Bersama teman sebaya.

Ketika senja menjemput, ada ibu yang siap dengan makanan dan pelukan hangat. Siap menjawab pertanyaan tentang kehidupan. Dan ayah dengan siaganya siap untuk membantu apapun.

Kontras, ketika saya kembali ke dunia ‘nyata’. Saat ini. Dimana lahan lapang sudah jarang, pun di desa. Kesempatan bermain yang semakin sempit. Mulai pagi hingga jam dua siang disibukkan di sekolah. Fullday school, bahkan yang masih kelas satu dan dua SD. Istirahat satu jam yang kemudian harus mempersiapkan diri untuk pelajaran tambahan. Atau kursus lainnya, bahasa Inggris, musik, sempoa, bulu tangkis… Must speak in English at home..

Beranjak malam baru ada kesempatan untuk beristirahat; di depan TV (dengan tayangan ‘seadanya’), menghadap computer, majalah anak-anak, atau menelpon teman untuk menanyakan tugas untuk esok hari. Ditemani fried chiken, kentang goreng, pizza, burger, yang franchisenya hingga ke kota sekecil Kediri. Ditambah cola dan minuman instant lainnya. Kesempatan bermain hanya bisa dinikmati akhir pekan, itu pun hanya sepak bola di lahan seadanya, main mobil remote control, atau game computer dengan pesan pornografi dan pornoaksi yang terselubung. Naudzubillah…

Apakah salah jika kemudian muncul kalimat; ” Terserah, itu kan urusan dia.”

“Emang gue pikirin.” Atau “ Kita? Elo aja kali, gue ngga..”

Apakah keliru jika kemudian nada-nada tinggi terdengar dari mulut-mulut kecil itu? Nada-nada frustasi dan kelelahan. Saling menyalahkan dan penuh ambisi.

Apakah tidak tepat jika kemudian kegemukan terjadi pada mereka, kelemahan fisik mereka, penyakit yang dulunya tidak ada, berkurangnya kemampuan tubuh..

Atau pikiran, pandangan mata, perbincangan dan perilaku yang meniru ‘orang dewasa’ terjadi di antara mereka?

Apakah mereka, ‘orang-orang masa lalu’ tidak lebih berprestasi dari anak-anak sekarang?

Kecerdasan emosi yang labil, karena ketidakseimbangan berpikir dan bergerak. Itulah yang saya lihat dari mereka. Perbincangan tentang ‘modernisasi’ tidak lantas mendewasakan pandangan pada suatu masalah.

Mugkin ini hanya terjadi pada beberapa anak saja, dalam komunitas tertentu. Dan dalam kalangan tertentu. Tetapi apakah ‘beberapa anak’ ini jumlahnya tidak bertambah seiring dengan gaya hidup yang dianut orang tua dan masyarakat sekitarnya?

Dimana sosok ibu saat itu yang seharusnya menjadi ‘sekolah’ pertama bagi anak? Di mana sosok ayah yang mereka cari untuk mengidentifikasi sosok ‘pelindung’ dalam kehidupan mereka? Apakah ibu saat ini adalah pengantar jemput sekolah?

Apakah sosok ayah saat ini adalah uang dan kecukupan materi? Dan kemudian saling bertemu dengan kepenatan masing-masing, egoisme, kelabilan emosi dalam tenaga dan waktu sisa.

Lalu mau dibawa kemana masa depan mereka? Bangsa ini? jika ambisi dan obsesi orang tuanya cenderung pada gaya hidup di ‘dunia maya’? di layar kaca?

Dunia impian? Atau ketidakpedulian?

Tidak ada komentar: