Kamis, 28 Agustus 2008

Sinetron Islami, Antara Pencerahan dan ‘ Penyesatan ’


Maraknya Industri hiburan di Indonesia akhir- akhir ini menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat akan hiburan meningkat. Entah hiburan untuk sekedar melepas penat dari aktivitas kehidupan yang semakin padat dan membosankan atau hiburan yang hanya untuk memanjakan diri. Memanjakan imajinasi dan harapan yang dirasakan semakin jauh dari kehidupan nyata.

Setelah sekian lama industri hiburan mengeksploitasi ‘ dunia lain’ habis- habisan. Kapitalisasi dunia klenik tanpa mempertimbangkan efek buruk bagi penikmatnya. Baik itu efek psikologis, rasionalitas dan efek- efek buruk lain yang pantas untuk dipertimbangkan. Tayangan- tayangan misteri mulai dari yang fiktif sampai yang ‘nyata’ digeber habis. Dari Misteri Gunung Merapi dengan Grandongnya, sampai Dunia Lain dengan ‘menjebak penghuni dunia lain’ dalam frame kamera.

Efek jangka panjang yang sangat menentukan mental bangsa ini mendatang adalah efek pada perilaku anak- anak. Tayangan misteri yang dirasa minim nilai pendidikan justru sangat digemari anak-anak yang memiliki masa-masa perkembangan imajinasi. Hal ini berpengaruh pada mental dan perilaku. Kemampuan untuk berpikir secara realistis dan dewasa semakin berkurang. Bagaimana tidak, sedikit- sedikit dihubungkan dengan penampakan. Para orang tua pun terbantu ketika mereka bandel tidak mau mandi atau tidur. Hanya dengan “ Awas nanti dibawa mak Lampir lho kalo nggak mau tidur”, “Jangan main sampe malem ada penampakan lho”. Anehnya banyak anak yang manut juga, sehingga kekritisan terhadap suatu fenomena pun semakin turun. Sebaliknya sangat meresahkan bagi para orang tua yang sangat memperhatikan akidah anaknya. Misalnya kebelakang untuk ambil wudhu saja si anak menjadi penakut, khawatir disamperin oleh ‘panampakan’ yang gambaran visualnya sangat jelas dalam memori. Ketika dimotivasi dengan menjelaskan bahwa ‘ mereka hanyalah makhluk, ada yang lebih tinggi dan perlu lebih ‘ditakuti’ pun tidak begitu berhasil. Perubahan perilaku masyarakat secara umum juga umum juga nampak.

Ada pengalaman menarik, ketika saya naik kereta, ada seorang bapak dan putrinya yang berusia sekitar sepuluh tahun sedang asyik berdiskusi. Saya mencoba untuk mencuri dengar sebelum saya memutuskan untuk bergabung dengan mereka, kebetulan sampailah kami pada stasiun kecil yang terlihat sangat suram. Dengan sangat mengejutkan, bagi saya, sang bapak mengatakan pada putrinya bahwa tempat itu sangat cocok untuk ‘menjebak penampakan’ dan menantang sang anak apakah dia berani kalau misalnya malam hari dia dibiarkan sendirian di sana. Dan sang anakpun menjawab dengan kata dalam suatu iklan “ Hii.. serem Pak, gak wani aku, medeni” ( gak berani saya, menakutkan). Akhirnya saya mengurungkan diri untuk berabung dan berpikir tentang fenomena ini.

Akhirnya tayangan semacam ini semakin berkurang, entah karena berbagai macam kritikan karena dianggap sebagai perusak mental atau pendangkalan akidah. Atau mungkin karena memang ada penururan rating yang akhirnya tidak menguntungkan bagi produsen sendiri.

Tetapi masalah pun belum selesai sampai disini. Setelah sedikit dilegakan dengan topik sinetron yang mengangkat masalah moral dan kemanusiaan, sampai dengan sinetron yang bermuatan religi. Awalnya ada beberapa sinetron yang bertujuan untuk syiar Islam dan penyampaian moral. Sebut saja Astaghfirullah yang ditayangkan di SCTV yang memperkenalkan metode pengobatan syar’i yang dicontohkan oleh Rasululloh yaitu Ruqyah. Karena ratingnya yang tinggi mengikuti pendahulunya yang ditayangkan di TPI, sehingga mulai bermuncullanlah sinetron yang bernuansa Islam. Sinetron remaja pun berbondong- bondong ‘alih jalur’ dengan menyertakan simbol simbol Islam. Sinetron kolosalpun tak mau ketinggalan. Di satu sisi memang merupakan suatu kemajuan ketika tayangan mulai memperkenalkan nilai moral yang indah dalam kehidupan yang berlaku untuk semua manusia. Tentang kelapangan hati, tentang kesopanan, kesederhanaan, kebijaksanaan dan nilai- nilai kemanusiaan lainnya. Tetapi akan sangat ‘merugikan’ ketika hanya menyertakan simbol saja. Misalnya saja cerita cinta ( pacaran) dengan disertai kegiatan religi, positif memang jika dibandingkan dengan model pacaran sebelumnya yang menunjukkan kebebasan. Tetapi paradoks jika dihadapkan dengan aturan Islam yang telah mengatur hubungan antara lelaki dan perempuan dengan sangat manusiawi. Manusiawi, karena sangat berhubungan erat dengan potensi dan kecenderungan manusia. Dalam Islam, hubungan antara lelaki dan perempuan sangat di jaga. Karena Pencipta Manusia tahu kemampuan makhlukNya. Kemampuan dalam menjaga kebersihan hati, kemampuan dalam menjaga hawa nafsunya dan kelemahan- kelemahan manusia.

sungguh, jika kepala salah seorang dari kalian dicerca denga jarum besi menyala, adalah masih lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tiada halal baginya. “ (HR Ath Thabrani dan Al Baihaqi)

Aturan ini bukan untuk membatasi gerak atau membebani manusia hanya dengan masalah pergaulan. Karena bisa jadi hal ini sebagai legitimasi manusia atas ‘halalnya’ pacaran, atau hubungan perempuan dan lelaki tanpa menikah. Padahal sebenarnya sangatlah bertentangan dengan aturan yang sebenarnya.

Setidaknya itulah salah satu contoh ‘ masalah’ dalam sinetron Islami saat ini.

Ada lagi pencampuran dunia klenik dan dunia manusia yang juga sudah diatur dalam Islam, Misalnya dalam salah satu sinetron yang menvisualisasikan bentuk iblis dan malaikat. Juga dalam sinetron yang menggambarkan bahwa peri adalah makhluk utusan Tuhan yang ditugaskan untuk menyelesaikan masalah anak- anak yang baik dengan keajaibannya. Di satu sisi hal ini juga membuat sang anak hanya berimajinasi bahwa masalah akan selesai tanpa dia melakukan aksi, karena ada kekuatan ‘sang penolong’. Sehingga anak-anak hanya disibukkan dengan khayalan yang belum tentu ada. Meskipun begitu ada juga efek panyampaian moral yang baik pada mereka.

Dari segi bahasa dan penyampainnya, dalam sinetron islami ‘ hanya’ menyampaikan salah-benar, dosa-pahala, surga-neraka tanpa pengertian yang menyeluruh. Sehingga ada paksaan atau ketakutan akan balasan yang akan diberikan oleh Tuhan. Sehingga memberikan kesan mengerikan pada aturan agama yang berakibat pada penurunan optimisme. Mungkin berbeda jika disampaikan dengan bahasa yang cantik, tanpa paksaan, tentang suatu konsekuensi dan pengertiannya. Yang akhirnya berdampak pada perilaku penyikapan suatu masalah dan mengambil keputusan dalam kehidupan dengan bijaksana dan menyenangkan.

Dan akhir-akhir ini, menjelang bulan Ramadhan atau mungkin masih mengikui arus sukses karya besar, dengan keuntungan yang (mungkin) juga besar Film Ayat-ayat Cinta. sinetron islami yang ’menjual cinta’. Ambillah contoh Munajat Cinta yang dibintangi oleh pemeran Aisha dalam AAC, Rianti Catwright di satu sisi ada hal-hal positif untuk pengembangan moral. Namun di sisi lain masih saja sarat air mata dan penderitaan. Seolah-olah menjadi orang baik dan sabar itu identik dengan lemah, menderita, miskin, sendiri dan air mata. Sosok Khumaira adalah sosok protagonis yang pemaaf, lembut, nrimo. Hingga dia mengijinkan suaminya untuk menikahi partner kerjanya (yang juga berjilbab) yang diperankan oleh Saskia Mecca. Seakan-akan tokoh yang jahat tidak mempunyai kebaikan sama sekali. Dan tokoh protagonis selalu yang benar dan tidak pernah punya rasa benci atau emosi. Mungkin cerita-cerita yang senada akan menyusul untuk meramaikan industri hiburan kita.

Tidak bijak rasanya ketika suatu kritik tidak disertai dengan solusi yang ditawarkan. Sehingga kita tidak hanya menjadi penilai suatu masalah, tetapi juga bisa turut menjadi bagian dalam penyelesaiannya.

Dunia hiburan, sudah saatnya berubah bukan hanya sebagai suatu komoditas ekonomi atau hiburan semata tetapi juga merupakan suatu sarana pendidikan yang sangat potensial. Baik pendidikan moral, etika, optimisme, keindahan hidup. Tetapi juga tentang kedewasaan dan kebijakan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Sudah sepantasnya kita aktif dalam membangun kebaikan ini dengan menunjukkan rasa kepedulian atas tayangan yang ada. Kita ikut memonitor dan menyampaikan keberatan. Tetapi pujian atau penghargaan juga pantas dilakukan jika memang tayangan tersebut berkualitas dari berbagai aspek.

“ Mintalah fatwa pada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pada hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.” (HR Muslim )


wallahu’alam

Tidak ada komentar: